ads header

Thursday, June 29, 2023

Cawe-Cawe Kearifan Lokal Ibu Kota Nusantara

0


URUN REMBUK: Penulis, Direktur Eksekutif STABIL Jufriansyah, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Kaltim Farid Wadjdy, Kepala Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra, BRIN Herry Yogaswara, dan peneliti asing Mr. Walker pada konsultasi publik Raperka OIKN.


MENUNGGU terjadinya ledakan-ledakan besar keresahan sosial baru bertindak, bisa dipastikan sikap selaku “pemadam” kemarahan bukanlah perilaku yang bijak.

Sejarah negeri ini sebenarnya menyediakan pelajaran yang kaya-raya, yang dapat mencegah penyelenggara negara berulah seperti kawanan keledai yang bolak-balik tersandung di batu serupa.

J.J Kusni Sulang, kawan lama yang seorang budayawan di Kalimantan Tengah mengirimkan artikel yang ditulisnya kepada saya. Dua paragraf di atas menutup artikelnya yang berjudul “Keresahan Daerah dan Sejarah”.

Catatan kebudayaannya dibuka dengan mengutip pernyataan sastrawan Inggris, George Orwell (1903-1950): Cara paling efektif untuk menghancurkan orang adalah dengan menyangkal dan melenyapkan pemahaman mereka sendiri tentang sejarah mereka.

Seperti topik yang ditulisnya, ia menumpahkan pikirannya tentang model pembangunan Jawa Sentris yang menimbulkan berbagai reaksi pada orang daerah di luar Jawa. Pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN) ke pulau Kalimantan menjadi momen untuk mengubur pembangunan yang bersifat Jawa Sentris dan menghadirkan Indonesia Sentris.

Kusni adalah pegiat kebudayaan dengan pikiran yang merdeka. Tanpa sandera kepentingan tertentu. Setiap pekan, ia mengampu halaman budaya “Sahewan Panarung” di media lokal yang berkantor pusat di Kota Sampit. Sudah hampir 17 tahun rubrik kebudayaan itu diasuhnya.

Pada 27 Agustus 2021, saya berdiskusi dengan beliau secara virtual. Mewakili masyarakat adat Kalimantan Timur, saya hadirkan Ketua Harian Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT) Marthen Apuy.

Dari diskusi bertemakan “Menjadi Indonesia dari IKN”, saya berharap mendapatkan sudut pandang dari tokoh masyarakat Dayak mewakili Kaltim dan Kalteng. Bagaimana dua tokoh tersebut memotret perubahan komposisi demografi setelah Ibu Kota Nusantara (IKN) terbangun dan dampaknya terhadap orang daerah?

Saya menangkap kegeraman yang diperlihatkan oleh Kusni ketika pejabat tinggi di Kaltim menyatakan tidak ada masalah kalaupun nanti masyarakat asli tersingkir dengan adanya IKN. Dengan nada meninggi, Kusni menilai pernyataan tersebut merupakan candaan yang tidak lucu dari seorang pejabat tinggi di daerah.

“Daripada mengutuk malam di kegelapan, lebih baik menyalakan lilin. Lalu, lilin apa yang dinyalakan oleh pemerintah agar masyarakat daerah tidak berada di dalam kegelapan?” kata Kusni memberi respons.

Menurut Kusni, konsep kebudayaan kampung halaman patut diperhitungkan menjadi Indonesia dan dihadirkan pada wajah IKN baru. Jika hal ini terimplementasi, kelak ketika IKN terbangun, kita sebagai orang daerah akan berdiri di kampung halaman, memandang tanah air, memanggungkan ke-Indonesia-an, serta merangkul dunia dari tanah Kalimantan.

Salah satu cara konkret untuk mengejawantahkan konsep berkeindonesiaan adalah memulangkan kedaulatan ke tangan warga akar rumput yang merupakan dasar piramida masyarakat. Wujudnya adalah pembentukan dan penetapan desa adat sebagai unit terkecil Republik dan Indonesia. Inilah konsep yang ditawarkan Kusni pada saat berdiskusi.
***

Rabu (07/06), Herry Yogaswara, kawan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memberitahu saya akan ke Balikpapan. Ia menyampaikan akan menjadi salah satu narasumber pada acara konsultasi publik terkait Rancangan Peraturan Kepala (Raperka) Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) terkait tata cara pengakuan, perlindungan, dan pemajuan kearifan lokal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Saya menemuinya pada acara yang telah dilaksanakan pada Kamis (08/06) di Hotel Gran Senyiur itu. Sebagai Kepala Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra, BRIN, Herry memberi penjelasan terkait definisi kearifan lokal berikut indikator-indikatornya.

Tentu saja Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam IKN Myrna A. Safitri menjadi bintang pada acara tersebut. Bintang lainnya adalah para tokoh masyarakat adat dan para akademisi.

Saya mencatat adanya kekhawatiran dari para tokoh masyarakat adat bahwa mereka akan ditinggalkan dalam pembangunan IKN. Muncul pula kecemasan terkait pengabaian terhadap perlindungan hak masyarakat adat.

Tidak selalu urun rembuk yang disampaikan audiens bersinggungan dengan Raperka OIKN. Namun, sebagian besar audiens sepakat bahwa kearifan lokal harus menjadi pondasi dalam pembangunan IKN.

“Jangan ulangi marginalisasi masyarakat Betawi kepada masyarakat Kaltim,” kata Rektor Untag Samarinda Marjoni Rachman.

Beberapa rektor lainnya yang hadir seperti Rektor Uniba Isradi Zainal, Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Agus Rubiyanto, Rektor Universitas Nadhlatul Ulama (UU) Farid Wadjdy memiliki sudut pandang dan harapan yang sama. Mereka mendesak agar perguruan tinggi di Kaltim dilibatkan dalam proses inventarisasi kearifan lokal.

Penggunaan istilah kearifan lokal juga perlu menjadi atensi. Jangan sampai istilah yang digunakan sulit dipahami oleh masyarakat. Sebagai contoh, penggunaan istilah “rimba kultural”. Istilah ini diyakini sulit dipahami dan perlu menggantinya dengan istilah lokal.

“Kearifal lokal di Kalimantan itu sangat banyak. Berbatasan kampung saja kearifan lokalnya sudah berbeda. Jadi, libatkan kami. Insyaallah, perguruan tinggi di Kaltim tidak bodoh-bodoh amat, kok!” kata Farid Wadjdy.

Di luar konteks, para rektor di Kaltim sepakat agar perguruan tinggi ternama yang ada di Indonesia tidak perlu membangun kampus baru di IKN. Cara terbaik yang bisa dilakukan adalah membangun kemitraan dengan perguruan tinggi yang telah eksis di Kaltim.

Mendengar aspirasi suara tersebut, Myrna menanggapinya dengan santai. Ia menyadari membahas kearifan lokal kompleksitasnya sangat tinggi karena yang dihadapi adalah masyarakat adat yang memiliki sejarahnya masing-masing.

Di kesempatan itu, ia menegaskan bahwa IKN akan terus berusaha membangun sistem yang terbaik dan berkomunikasi secara terbuka.

“IKN berkomitmen untuk tidak menghilangkan apa yang telah ada di masyarakat. Pembahasan ini akan terus dilakukan di internal IKN untuk menemukan jalan terbaik perlindungan kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan,” kata Myrna.

Merespons suara para rektor, Myrna menyatakan OIKN terbuka untuk mendiskusikannya dalam konteks inventarisasi kearifan lokal. Langkah konkretnya, OIKN akan membentuk kelompok kerja (Pokja) inventarisasi dengan melibatkan perwakilan perguruan tinggi di Kaltim.

Kawan, untuk urusan kearifan lokal IKN, kitalah masyarakat di daerah yang lebih memahaminya. Karenanya, kita perlu cawe-cawe. Bagaimana menurut anda? 
(*)
Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: