BUKAN FOTOGRAFER BIASA: Aktivitas hunting foto komunitas Balikpapan Friends of Wild Nature di Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW). FOTO: EKO CAHYONO/BFoWN
Fotografi
alam liar memang penuh tantangan. Inilah petualangan yang benar-benar bernama
safari. Berburu bersenjatakan kamera, sasarannya binatang liar. Di Hutan
Lindung Sungai Wain (HLSW).
AGUSDIN
masih mengingat atas apa yang dilihatnya
saat berpatroli pada 2016. Dia
bersama tim patroli menemukan 300 jerat
satwa di dalam hutan. Bahkan seekor beruang madu ditemukan tergelantung
akibat terjerat. Belum lagi penemuan belasan bom babi di banyak titik. Temuan
ini menunjukkan praktik perburuan sudah berlangsung lama di dalam hutan.
Sinergi
Pro Natura dengan komunitas fotografer memberi andil terhadap penurunan
perburuan satwa liar. Secara tidak langsung, aktivitas fotografer alam liar di
HLSW ikut mencegah orang yang melakukan perburuan yang awalnya merasa bebas.
Hubungan
Pro Natura dengan komunitas fotografer bisa dibilang hubungan yang saling
menguntungkan. Pro Natura membutuhkan peran fotografer karena keterbatasan
teknologi kamera. Sebaliknya, fotografer memerlukan akses masuk ke HLSW untuk
berpetualang memotret alam liar.
“Sejak
Pro Natura menjadi mitra pemerintah, aktivitas perburuan di Hutan Lindung
Sungai Wain sudah jauh berkurang,” kata Vice Manager Pro Natura itu.
Minggu
(25/08) sore pekan lalu, saya, Agusdin bersama komunitas Balikpapan Friends of
Wild Nature (BFoWN) berkumpul di Pos Ulin – pos informasi dan pendataan
pengunjung HLSW. Selama dua hari pada akhir pekan lalu, mereka melakukan
aktivitas rutin pemotretan di dalam hutan.
Tidak
banyak fotografer yang berhimpun dalam wadah BFoWN. Anggota tetapnya hanya belasan
orang saja. Namun, BFoWN memiliki simpatisan hingga ratusan. BFoWN juga
memiliki jaringan ke Borneo Bird Club. Ranah fotografi alam liar memang
memiliki tantangan berbeda dibanding fotografi peristiwa. Minimal, fotografer alam liar harus memiliki
bekal pengetahuan tentang satwa.
“Fisik
juga harus prima. Dan yang terpenting harus cinta alam,” kata Sugeng
Kuswardono, fotografer senior anggota komunitas BFoWN.
Sebagian
besar anggota BFoWN sebelumnya berhimpun dalam wadah Hiperfokal (Himpunan
Penggemar Fotografi Alam Liar). Sugeng salah satu di antaranya. Mereka
mempunyai kesamaan visi. Menyampaikan cerita kepada orang-orang di masa kini
dan mendatang lewat gambar-gambar indah kekayaan alam. Sebisa mungkin aktivitas
pemotretan yang mereka lakukan selalu melibatkan masyarakat.
Di
Kalimantan, kata Sugeng, fotografer yang tertarik untuk mengeksplorasi alam
liar jumlahnya tidak banyak. Terbanyak ada di dua provinsi, yakni Kalimantan
Timur dan Kalimantan Selatan. Fotografer alam liar asal Malaysia dan Singapura
cukup sering hunting foto ke HLSW.
BFoWN
rutin melakukan hunting foto setiap minggu. Mengabadikan momen-momen sekaligus
mengindentifikasi jenis-jenis satwa liar di hutan lindung seluas 11.000 hektare
itu. Bagi Pro Natura selaku pengelola HLSW, keberadaan komunitas fotografer
BFoWN sangat luar biasa membantu. Semakin banyak orang yang mengawasi dan
memerhatikan hutan, akan menjadi portal penghalang perburuan satwa liar.
“Kami
meyakini seni fotografi alam liar tak akan bisa hidup tanpa basis sosial yang
kuat. Kami tidak mengambil apapun, kecuali gambar. Hanya jejak kaki dan
kenangan yang tertinggal,” ujar Sugeng.
Hasil
perburuan fotografer BFoWN menembus hutan, melintasi sungai, menunggu
berjam-jam, bahkan berhari-hari, hingga objek sasaran tertangkap kamera telah
terdokumentasi dalam buku “Pesona Keanekaragaman Hayati Kalimantan Timur. Inilah sajian foto hasil olah pikir Sugeng
Kuswardono, Agusdin, Rocky Paolorossi, Julius, dan Eko Cahyono. Menyuguhkan
tangkapan pose gagah buaya muara, kemunculan hewan langka, romantisme induk dan
anaknya, dan segala keunikan satwa liar penghuni HLSW. Sekaligus menyampaikan
pesan bahwa mereka tergerak dan berkejaran dengan waktu untuk mendokumentasikan
flora, fauna, dan bentang alam, sebelum perekonomian ekstratif sumber daya alam
sudah sampai titik terparah.
“Saat
memotret, Rocky pernah tidak sadar kalau beberapa jengkal di atas kepalanya ada
monyet. Pernah juga berpapasan dengan induk orangutan,” ungkap Sugeng
menceritakan petualangan mereka saat hunting foto.
***
Ucapan
selamat datang dari peneliti dan pemerhati lingkungan Gabriella Fredriksson.
Membuka lembar demi lembar buku bergambar buah karya BFoWN mengingatkan
Gabby—sapaan Gabriella saat pertama kali datang ke HLSW pada 1994. Untuk tujuan
penelitian S2. Ia terpukau melihat fragmen terakhir hutan dataran rendah dan
pesisir, dengan inti hutan primer yang masih asli. Ia kemudian kembali pada
1997untuk penelitian lebih lanjut.
Gabby
berharap buku berisikan keanekaragaman hayati di Kaltim ini tidak menjadi kenang-kenangan
dari apa yang dulu ada, tetapi dapat membuka mata para pengambil keputusan.
Sebastian
van Balen punya cerita lain. Dia sudah mengetahui rencana para fotografer
berbakat asal Balikpapan untuk
mempublikasikan buku bergambar satwa liar. BFoWN bahkan memperlihatkan
rancangannya kepada Sebastian sebelum buku itu dicetak. Sebastian terpesona
melihatnya. Ia menghargai kesabaran dan keteguhan para fotografer Balikpapan.
Tidak kurang dari lima anggota keluarga hewan langka ditampilkan dalam buku ini.
“Pesona
keanekaragaman hayati di Kaltim mungkin lebih tepat disebut coffee table book.
Dan para penulis bisa memilih waktu yang tepat untuk mempublikasikannya sembari
ngopi,” tulis Sebastian memberikan kata pengantar. (*)
|