ads header

Monday, July 20, 2020

"Produk yang Cacat"

0
DEFISIT DEMOKRASI: Pertarungan calon tunggal versus kolom kosong diprediksi akan terjadi pada pilkada Balikpapan 2020.

KITA tengah menyaksikan eksperimen politik dalam pertarungan merebut kursi Balikpapan 1. 

Tadinya saya berharap dukungan publik secara langsung (baca: jalur independen) bisa meminimalisasi harga transaksi politik. 

Sayang, ajaran tentang perubahan politik yang sehat kepada para politisi dan partai politik itu gagal. 

Tadinya saya berharap prediksi itu tidak menjadi kenyataan (baca: calon tunggal pilkada Balikpapan). 

Sayang, prediksi tersebut justru berpotensi menjadi nyata. 

Tadinya saya berharap pilkada di tengah pandemi akan memberi efek ekonomi yang lebih meluas. 

Sayang, pada akhirnya calon tunggal hanya berefek “ekonomi” pada partai politik pengusung. 

Kita tahu bahwa biaya melahirkan pemimpin daerah melalui partai politik itu amat mahal. Dan rumit. 

Karena terbelenggu hal-hal demikian, politik di negeri ini menjadi kumuh dan korup. Akibatnya, dukungan kepercayaan publik semakin hilang. 

Publik pun berkemungkinan mendapatkan calon gagal. Dalam bahasa marketing diistilahkan dengan “produk yang cacat”. 

Maka, hari-hari ke depan, kita akan menyaksikan pertarungan hambar calon tunggal kontra kolom kosong. 

Lalu muncul pertanyaan: bagaimana dengan hak-hak politik kolom kosong dalam hal kampanye. 

Apakah KPU juga menyediakan waktu dan tempat kampanye bagi pendukung kolom kosong? 

Apakah disediakan lawan debat bagi calon tunggal dari kelompok kolom kosong? 

Apakah mengampanyekan untuk memilih kolom kosong dianggap antidemokrasi yang mencederai pilkada? 

Menurut saya, beberapa pertanyaan logis itu akan mengemuka mengingat geliat demokrasi tumbuh di kalangan pemilih terdidik. 

Dalam benak mereka, mengambil keputusan untuk memilih kolom kosong merupakan hak demokrasi yang berbeda dengan golput. Karenanya, harus ada kelompok orang yang menggerakkan untuk memilih kolom kosong. 

Terlepas dari itu, calon tunggal pada pilkada Balikpapan 2020 sungguh ironis. Demokrasi terasa hambar dan semu karena pemilihan tidak kompetitif. 

Pilkada dengan calon tunggal telah menampar partai politik yang tidak mampu menghadirkan kadernya dalam kontestasi seleksi kepemimpinan. 

Regulasi dan anggaran pun sepertinya menjadi sia-sia karena partai politik tidak mampu menjalankan salah satu fungsi pokok itu. Akibatnya, besarnya biaya yang digunakan untuk pilkada menjadi mubazir karena tidak ada kompetisi. Demokrasi tercederai dan legitimasi pilkada menjadi minus. 

Hal lain yang harus menjadi perhitungan adalah dampak elektoral dari keberadaan calon tunggal itu sendiri. Hampir dipastikan, partisipasi masyarakat menjadi berkurang. Mereka malas datang ke tempat pemungutan suara karena meyakini petahana pasti menang. Ongkos penyelenggaraan demokrasi yang tinggi terasa lebih mahal dan cenderung mubazir karena minimnya partisipasi. 

Calon tunggal tidak hanya membuat demokrasi menjadi hambar, tetapi juga mengalami defisit. Penanda yang jelas, sirkulasi pemimpin Kota Balikpapan melalui mekanisme pilkada telah gagal. Bagaimana menurut Anda? (*)
Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: