![]() |
SUPER TEAM: Penulis (batik biru) bersama anggota KPPS TPS 029 Batu Ampar. |
DEBAT emosional tersaji. Pada layar bening 7 Mei 2019. Adu mulut antara dr Ani Hasibuan dan politikus PDIP Adian Napitupulu. Bersilang pendapat tentang kematian ratusan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Ani
mempertanyakan penyebab kematian petugas KPPS. Dokter spesialis syaraf itu akan
melakukan investigasi lanjut atas peristiwa ini. Tegas Ani menyatakan tidak ada
kematian akibat faktor kelelahan. Adian berkeberatan atas pernyataan Ani. Bahwa
tugas KPPS hanya sekadar tukang catat.
Saya
yang menonton debat panas itu juga terseret dalam pusaran emosional. Maklum,
pada pemilu 2019, saya terlibat secara langsung sebagai
relawan. Pertama sebagai relawan demokrasi (Relasi) KPU Kota
Balikpapan. Kedua sebagai Ketua KPPS. Tentu saya berduka terhadap sejawat KPPS
di tanah air yang telah berpulang. Tidak menyangka jumlah korban meninggal
hingga mencapai 469 petugas.
Saya
bersyukur bisa menjalankan tugas kepemiluan pada tingkatan terbawah (baca:
KPPS) dengan baik. Pelaksanaan pemungutan dan penghitungan berjalan lancar.
Semua anggota KPPS dan petugas Perlindungan Masyarakat (Linmas) dalam keadaan
sehat. Alhamdulillah.
Saya
menangkap perdebatan panas itu mencakup tiga permasalahan utama. Pertama,
tentang syarat menjadi anggota KPPS--termasuk di dalamnya mengenai kesehatan
calon anggota KPPS. Yang kedua mengenai tupoksi KPPS. Ketiga berkaitan dengan
teknis pemungutan dan perhitungan suara. Tiga poin itu yang akan saya uraikan
di sini.
Harus
dikatakan secara jujur, tidak ada syarat khusus untuk menjadi anggota KPPS.
Ketua RT-lah yang memiliki peran penting dalam menentukan calon anggota KPPS.
Tidak heran apabila dari pemilu ke pemilu, ditemukan adanya petugas
KPPS yang tak pernah berganti. Ini hanya satu contoh. Namun, regenerasi petugas
KPPS juga diperlihatkan pada sejumlah TPS di Kota Balikpapan. Di Kelurahan Batu
Ampar, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur misalnya, pada satu TPS diketahui
seluruhnya petugas baru yang belum memiliki pengalaman kepemiluan.
Pada
suatu kesempatan berdiskusi dengan komunitas Blogger Balikpapan, mereka
menyuarakan agar petugas KPPS merupakan perpaduan antara yang tua dan yang
muda. Kombinasi generasi tua berpengalaman dan generasi milenial.
“Pemilih
muda itu maunya cepat. Kalau petugas KPPS-nya tua dan lelet, mereka yang
sudah datang ke TPS bisa nggak jadi memilih,” ujar Rijal, anggota
Komunitas Blogger Balikpapan.
Saya
sepakat. Idealnya petugas KPPS merupakan kombinasi antara mereka yang sudah
berpengalaman dalam kepemiluan dan tenaga muda. Syarat lain yang perlu mendapat
perhatian KPU adalah syarat minimal pendidikan. Idealnya berpendidikan minimal
SLTA/sederajat.
Benar
bahwa kesehatan calon anggota KPPS menjadi prasyarat. Namun faktualnya,
selembar surat keterangan sehat yang menjadi prasyarat itu tanpa melalui pemeriksaan
detil. Bahkan pada PPS tertentu, syarat kesehatan tersebut dibuat sendiri oleh
calon anggota KPPS. Berupa surat pernyataan sehat bermaterai. Toleransi surat
pernyataan sehat bermaterai diberikan kepada calon anggota KPPS berstatus
pegawai/karyawan yang tidak sempat mengurus surat keterangan sehat.
Secara
tupoksi, tugas utama KPPS adalah menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan
suara. Sebelum hari-H pemilu, kegiatan yang dilakukan KPPS adalah menyampaikan
tempat dan waktu pemungutan suara; mendistribusikan surat undangan kepada
pemilih, penerimaan logistik, dan penyiapan TPS.
Kegiatan
pra-pemilu yang cukup menyita waktu yakni pendistribusian surat undangan
memilih (formulir C-6). Sesuai ketentuan, formulir C-6 sudah harus disampaikan
kepada pemilih selambatnya tiga hari sebelum hari-H pemilu. Tidak semua KPPS
mampu memenuhi target pendistribusian surat undangan. Bergantung pada jumlah
daftar pemilih tetap (DPT), juga faktor geografi dan sebaran pemilih. Pada
setiap tahapan tersebut, kami berbagi tugas. Kegiatan lain yang cukup menyita
waktu sudah tentu penyiapan TPS, terkhusus TPS terbuka.
Bagi
saya yang sudah terlibat dua kali dalam penyelenggaraan kepemiluan, semua
tahapan pemilu 2019 berjalan lancar-lancar saja. Baik-baik saja. Dua kali penyelengaraan
pemilu yakni Pilgub Kaltim 2018 dan Pemilu 2019, kami menggunakan TPS ruang
tertutup.
Penyelenggaraan
pemilu 2019 yang nyaris tanpa kendala di TPS kami ditunjang oleh
kecakapan dan soliditas tim KPPS. Latar belakang pendidikan anggota KPPS di TPS
kami didominasi berpendidikan sarjana. Seluruh anggota KPPS juga telah memiliki
pengalaman dalam penyelenggaraan pemilu.
Bayang-bayang
pemilu 2019 adalah pemilu yang rumit hanyalah bayangan semata. Sejatinya pemilu
2019 tidak berbeda dengan pemilu legislatif 2014. Hanya bertambah satu pemilu
yakni pilpres. Pemahaman terkait teknis pemungutan dan penghitungan suara juga
sudah disampaikan saat bimbingan teknis.
Ketika
KPPS terbentuk, kami segera melakukan konsolidasi. Memutuskan pembagian tugas
KPPS dan linmas. Menjelaskan tupoksi masing-masing KPPS dan linmas. Hingga
melakukan simulasi pemungutan dan penghitungan suara. Ending-nya meleset. Kami
memprediksi selambatnya pukul 01.00 penghitungan suara dan pencatatannya telah
selesai. Prediksi itu ternyata meleset hingga pukul 05.00.
Molornya
waktu penyelesaian penghitungan suara disebabkan oleh beberapa hal. Di
antaranya adanya penambahan jumlah pemilih, yakni pemilih pindahan dan pemilih
khusus. Lembar surat suara pemilu legislatif yang cukup besar ternyata
cukup memakan waktu saat pencoblosan. Waktu pemungutan suara yang semestinya
telah dihentikan pada pukul 13.00 akhirnya meleset. Penyebabnya, masih banyak
pemilih terdaftar dan sudah berada di TPS belum melakukan pencoblosan.
Hal
teknis lain yang dijumpai saat penghitungan suara adalah ketidakjelasan tanda
coblosan pada surat suara. Menelisik tanda coblosan pada surat suara pemilu
legislatif yang cukup lebar memerlukan kejelian. Dan ini sangat memakan waktu.
Terlebih penghitungan dilakukan pada tengah malam hingga dini hari, di saat
kondisi fisik sangat lelah.
Antisipasi
berkaitan dengan pencatatan hasil penghitungan dan salinan formulir C-1 telah
kami lakukan. Caranya dengan menggandakan formulir C-1 dan menandatanganinya
terlebih dahulu sebelum hari-H pemilu. Ini dilakukan karena kami menyadari
penyalinan formulir C-1 untuk pilpres, DPD, dan DPR/D sangat menyita waktu.
Setelah menyalin C-1 Plano pada C-1 berhologram, selanjutnya harus membuat
salinan kembali untuk diberikan kepada saksi dan penyelenggara pemilu (PPS,
PPK, KPU).
Sebagai
contoh, formulir C-1 berhologram DPRD Provinsi yang berjumlah 6 lembar harus
kembali dicatat pada salinan dan pada setiap lembarnya harus ditandatangani
petugas KPPS dan saksi. Satu bundel formulir C-1 yang
berjumlah 6 lembar tersebut harus disalin sebanyak 19 salinan untuk diberikan
kepada saksi dan penyelenggara pemilu (PPS, PPK, KPU).
Tidak
menutup kemungkinan, ketidakpahaman petugas KPPS terkait teknis pemungutan dan
penghitungan suara akibat instruksi yang berubah-ubah. Mungkin juga akibat
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pindah memilih dan perlakuan pemilih
dengan e-KTP yang kurang dipahami oleh KPPS sebagai pelaksana pemilu.
Pada
akhirnya, saya hanya ingin mengatakan bahwa bahagia sederhana KPPS itu manakala
petugas KPPS tidak perlu hadir kembali saat pleno di tingkat PPK akibat
kesalahan teknis pemungutan, penghitungan dan pencatatannya. Kelelahan yang
amat sangat ini cukup berakhir di TPS saja. Kepada TPS lain yang harus
dilakukan penghitungan ulang, bahkan pemungutan suara ulang, kami men-support
agar tetap semangat.