CASTOL…Castol…Castol. Permintaan lagu diteriakan kepada Ambon Cs. Sabtu (16/11/2017) malam di Pantai Banua Patra, Ambon dan kelompok bandnya sedang manggung. Tiga lagu sudah meluncur dari kerongkongan Ambon, tetapi komunitas Slankers dan Reggae yang sedang berkumpul di event musik “Bebas Merdeka” masih belum puas. Kurang afdol jika S2T, band reggae indie besutan Ambon belum menyanyikan lagu berjudul Castol.
Musik terdengar. Bibir panggung kembali dipadati anak-anak reggae. Mereka bergoyang. Castol sudah begitu familiar di kalangan penggemar reggae. Kekuatan lagu itu ada pada liriknya. Lirik gokil berisikan plesetan-plesetan jenaka. Kata-kata ngawur yang tidak sesuai dengan padanan kata justru menjadi kekuatannya. Castol benar-benar membuat hati para penggemar lagu gokil itu menjadi lengket.
Castol…engkau lem yang baik
Castol… kau sangat berguna
Castol…namamu lem sui king
Lem artinya perekat
Sui artinya lama
Eking artinya raja
Castol… namamu kok aneh
Castol… sahabat tambal ban
Ban dalam maupun ban luar
Tubles juga melayani tambah angin
Nanti masuk angin.
Inilah sepenggal lirik Castol yang gokil itu. Berdurasi cukup panjang sekira delapan menit, tak mudah untuk menghapal lirik-lirik plesetan tersebut. Ambon pun harus berimprovisasi menambahkan plesetan-plesetan baru. Plesetan itu seringkali muncul secara spontan di atas panggung. Saat manggung kemarin malam, Ambon menambahkan beberapa plesetan baru yang ngawur itu. Sebut saja kalajengking: kala (waktu), jengking (nungging). Versi S2T, kalajengking adalah waktunya nungging.
Adapula Warsidi: war (perang), sidi/CD (celana dalam). Maka arti Warsidi adalah perang celana dalam. Masih ada lagi yang lain: Lukman. Luk (Lux): sabun, man (manusia). Maka arti Lukman adalah manusia sabun.
Meski lirik Castol berisikan plesetan ngawur yang tidak nyambung, lagu ciptaan Tani Maju, band reggae indie asal Kota Malang itu telah membuktikan bahwa mereka bisa popular karena keanehannya. Castol selalu menjadi request lagu-lagu lokal.
“Memang tidak mudah menghapal liriknya. Terlalu panjang, durasinya delapan menit. Jadi, perlu plesetan versi sendiri kalau lupa,” kata Muhammad Khadafi, nama sebenarnya dari Ambon.
Ambon mengakui bahwa kejenakaan dan kegilaan menjadi identitas S2T. Band reggae yang telah terbentuk sejak tiga tahun lalu tersebut memang terdiri dari personil-personil “gila”.
“Susah betul untuk sembuh dari kegilaan. Kami memang susah untuk sembuh total,” ucapnya tergelak.
Band reggae yang bermarkas di Jalan RE Martadinata itu terdiri dari enam personil. Ambon (vokalis), di belakang drum ada Vemo Saurus, Andi Siqibo membetot bas, Rendy (melodi), Lirut Songkali (jimbe), dan Heril (rythem). Bermusik hanyalah side job bagi para personil S2T. Ambon, misalnya, kesehariannya bekerja sebagai mekanik kendaraan bermotor.
Dengan latar belakang profesi yang berbeda, sebagian besar personil S2T merupakan para perantau yang telah menetap di Balikpapan. Berawal dari kumpul-kumpul di warung kopi, mereka yang memiliki kegemaran bermusik sepakat untuk membentuk grup band. Ketika eksistensi komunitas reggae menggeliat di Kota Balikpapan, mereka latah untuk membentuk grup band reggae.
“Awalnya memang hanya ikut-ikutan saja, tapi kebablasan,” ujarnya.
Sempat vakum selama setahun, S2T kembali eksis seiring dengan maraknya event-event yang digelar komunitas-komunitas. Meski masih sebatas side job, S2T mulai berpikir ke arah profesional. Musik sebagai bagian dari industri kreatif yang semakin tumbuh dan berkembang di Kota Balikpapan menjadi pemikiran S2T.
“Kalau project pembuatan mini album sudah kelar, kita mulai coba membenahi manajemen ke arah professional,” kata Ambon.
Andre dan Nathalia, pemerhati dan pebisnis yang bergerak di industri musik berpendapat, industri musik di daerah masih menghadapi beberapa masalah. Mulai dari pendidikan musik, produksi, sampai kehidupan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Mereka menilai permasalahan mendasarnya ada pada kesibukan sendiri antara pemerintah dan para musisi.
“Bagaimanapun, supporting dari pemerintah daerah tetap sangat penting. Regulasi-regulasi bersifat lokal yang memihak kepada musisi lokal sangat diperlukan,” ujar Andre.
Menurut Andre, sektor industri kreatif yang mulai tumbuh dan berkembang di Kota Balikpapan memerlukan keberpihakan kebijakan terhadap pelaku industri musik.
“Contoh sederhana dalam hal marketing. Balikpapan sudah mampu membuat recording sendiri. Tentu akan sangat baik jika pemkot membuat kebijakan yang memprioritaskan distribusi compact disc karya-karya musisi lokal di ritel-ritel modern,” ujarnya. (jid)