ads header

Friday, September 29, 2017

Bincang Seniman Itu

0
BISA  saja ada suara sumbang yang menyoal bahwa Dewan Kesenian Balikpapan (DKB) kini masih di kelas taman kanak-kanak. Sesungguhnya kalaupun itu benar, bukan karena kiprah berkesenian para seniman di kota ini telah mati suri, tapi karena DKB tidak menyentuh mereka.

Setidaknya itulah kegelisahan yang disampaikan para seniman senior di Balikpapan. Kongko-kongko di Gedung Biru Kaltim Post Group (KPG), para seniman itu membedah persoalan kelembagaan DKB dan penamaan gedung kesenian Balikpapan. Mereka berkumpul dengan pikiran yang sama: membangkitkan kembali semangat berkesenian.

“Lama sekali kami tak berkumpul. Kongko-kongko ini menjadi inisiatif bersama. Membicarakan tentang kontribusi para seniman terhadap kota ini,” kata Syamsul Munir Asnawi.

Asbon Sijaya, pendiri Dewan Kesenian Manuntung (DKM) yang menjadi cikal bakal Dewan Kesenian Balikpapan (DKB) juga hadir pada kongko-kongko itu. Penyair gaek kelahiran 1946 ini masih terlihat energik. Pikiran kritisnya mengalir deras. Hadir pula Hj. Hadidjah. Memori guru tari itu tentang histori pembentukan DKM dan DKB masih sangat kuat. “Pak Asbon itu mudanya gagah,” kelakar mantan sekretaris DKB dan pendiri Arema (Arena Remaja Manuntung) pada eranya disambut gerr.

Banyak cerita yang mengalir di acara temu kangen para seniman senior tersebut. Mereka mengenang pertunjukan drama yang naskahnya ditulis oleh Zulhamdani AS. Ya, Zulhamdani adalah penulis naskah drama, film, dan sinematografi. Sederet penghargaan di kancah nasional dan internasional telah diraihnya.

“Sejarah Dewan Kesenian Balikpapan yang semakin kabur harus diluruskan,” kata Asbon Sijaya.

Bila kemudian para seniman tersebut berkumpul, hal tersebut dilatarbelakangi kegelisahan para seniman senior terhadap kinerja dan program DKB yang kurang aspiratif dan minim aktivitas. “Begitu pun mengenai usulan atau pilihan nama gedung kesenian, pemberian nama gedung harus memahami sejarah dan filosofinya,” kata Mardianto, akademisi jebolan perguruan tinggi seni.

Bambang Oglex tak dapat menyembunyikan perasaan risaunya. Pengampu sanggar teater itu prihatin dengan minimnya aktivitas berkesenian yang dimotori oleh DKB. Gelontoran dana APBD kepada lembaga tersebut ternyata belum mampu menjadikan DKB sebagai lembaga penggerak. “Sirkulasi kepemimpinan di DKB harus bisa jalan. Bukan dengan model arisan,” kata Bambang.

Ke depan, kata Bambang, DKB harus diisi oleh para seniman yang memahami arti kesenian itu sendiri dan memiliki visi ke depan tentang berkesenian.

“Kesenian telah menjadi komoditas ekonomi kreatif. Diperlukan perubahan paradigma kepemimpinan di DKB,” ujarnya.

Sebangun, Munir Asnawi berharap pemanfaatan Gedung Kesenian Balikpapan lebih dioptimalkan. Gedung kesenian harus menjadi wadah komunikasi dan interaksi antara para seniman dengan warga masyarakat. DKB, kata Munir, harus menjadi mediator dan fasilitator para seniman untuk memperlihatkan karyanya kepada publik.

“Ini harapan kami dari para seniman. Wadah berhimpun sudah ada, fasilitas sudah ada, tinggal bagaimana menggerakkan para seniman saja,” ujarnya.

Soal penamaan gedung kesenian, para seniman senior sepakat agar penamaannya netral dan tidak memunculkan polemik. Nama Gedung Kesenian Balikpapan atau Gedung Kesenian Manuntung dianggap cukup netral.

“Jika Ismail Marzuki dijadikan nama gedung kesenian, itu memang layak karena ketokohan dan eksistensinya dalam berkesenian,” kata Asbon.

Nama-nama seniman dengan latar belakang keseniannya tetap dapat diakomodasi di gedung kesenian sebagai nama-nama ruangan. Muncul sejumlah nama yang bisa dijadikan nama ruangan-ruangan pada pertemuan tersebut. Di antaranya  mantan wali kota Zainal Arifin dan Syarifudin Yoes, pelukis Muanam, penyanyi keroncong Suprapto, penari Nyai Dasimah, dan perintis pembentukan DKM dan DKB Sofyan Asnawi.

“Nama-nama seniman masih kita inventarisasi dan akan diusulkan kepada wali kota. Namun, untuk nama gedung sebaiknya yang netral,” kata Munir Asnawi. 

DKM Sebelum DKB
PERTEMUAN itu terjadi pada 1973. Bermula dari perbincangan antara Asbon Sijaya, Sofyan Asnawi, Ny. Ludi Wardana, dan Hj. Hadidjah, mereka menggulirkan pembentukan organisasi para seniman di Balikpapan.

Asbon dan Sofyan berprofesi sebagai wartawan. Ludi seorang penari nasional. Sedangkan Hadidjah seorang pegiat seni tari yang juga PNS di Pengadilan Negeri Balikpapan. Ide pembentukan organisasi sudah dimantapkan, kemudian mereka mengundang Zainal Arifin, Wali Kota Balikpapan pada masa itu.

Zainal merespons baik gagasan pembentukan organissi para seniman. Zainal lantas menyodorkan nama Dewan Kesenian Manuntung (DKM) dan disetujui.

“Seperti itu historinya. Awalnya dibentuk DKM sebelum lahir Dewan Kesenian Balikpapan (DKB),” cerita Asbon Sijaya didampingi Hadidjah.

DKM menjadi wadah berhimpun pegiat seni di Balikpapan. Rumah dinas wali kota di Jalan ARS Muhammad (sekarang rumah dinas wakil wali kota, Red.) dijadikan sekretariat tari nasional. Pada hari-hari tertentu, para penari leleng (tarian Kutai) terlihat berlatih di gedung Kantor Pos. Jika Kantor Pos dijadikan tempat berlatih menari, itu karena pelatihnya seorang pegawai Kantor Pos.

“Nama pelatih tarinya Pak Hanafi, karena dia pegawai Kantor Pos, jadilah Kantor Pos sebagai sekretariat tari daerah,” cerita Asbon.

Di kawasan Telagasari, Hadidjah ketiban mengurusi anak-anak berlatih tari bali dan musik. Aktivitas berkesenian anak-anak pada saat itu bernaung di Arena Remaja Manuntung (Arema). “Jadi, Balikpapan juga punya Arema,” ucap Hadidjah.

Sekira lima tahun berjalan, DKM kemudian berubah nama menjadi Dewan Kesenian Balikpapan (DKB). Motor penggeraknya masih orang-orang yang sama, yakni Asbon Sijaya, Sofyan Asnawi, Ludi Wardana, dan Hadidjah.

Dihadiri Sekda Moesmin Soehondo dan Bagian Kesra mewakili Pemkot Balikpapan, pertemuan itu menyepakati pergantian nama DKM menjadi DKB. Jika kiprah Asbon dan Sofyan begitu menonjol sebagai penggagas dan perintis DKM dan DKB, Asbon mengakui profesi mereka sebagai wartawan sangat membantu.

“Dulu di Balikpapan hanya ada tiga wartawan. Saya, almarhum Sofyan Asnawi dan almarhum Abdurrahman Assegaf. Dulu, kami bertiga ini penguasa Balikpapan,” ucapnya tergelak.
Berkecimpung di organisasi DKM dan DKB, Asbon dan Sofyan mewakili Balikpapan pada musyawarah Dewan Kesenian Nasional (DKN) pertama di Malang dan musyawarah DKN kedua di Makassar.

Tak hanya berkecimpung di DKB, Asbon juga berkiprah di organisasi kesenian lainnya yakni Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Kalimantan Timur.

Kali pertama DKB terbentuk, Sofyan Asnawi menjabat sebagai ketua. Asbon mendampingi Sofyan sebagai sekretaris. Sementara Asbon menjabat ketua DKKNI, ia dibantu oleh Sofyan Asnawi sebagai sekretaris dan Hadidjah sebagai bendahara.

“Saat itu, kami berdua juga sebagai perintis pendirian KNPI. KNPI membawahi kegiatan-kegiatan DKB dan DKKNI. Jadi, pada banyak organisasi, orang-orangnya ya hanya kita-kita ini,” kenang Asbon.

Sibuk menangani beberapa organisasi, pada era 80-an muncul nama Zainal Dharma Abidin yang tiba-tiba menjadi ketua DKB. Asbon tidak tahu persis mengapa tiba-tiba Zainal Dharma menjabat ketua DKB. “Dia mengaku seniman dari Jakarta, anak buahnya penyair Rendra,” ujarnya.

Tongkat ketua DKB kemudian beralih dari Zainal Dharma Abidin kepada Darwis M Noor sekira tahun 90-an.  Jika kemudian muncul usulan nama Darwis M Noor dijadikan nama gedung kesenian, usulan tersebut menjadi pertanyaannya.

“Mengapa harus dipertanyakan, karena DKB memiliki perjalanan dan perjuangan yang panjang. Tidak terbentuk begitu saja,” tegas Asbon.

Pemberian nama gedung kesenian, kata Asbon, harus memahami sejarah pendirian dan filosofisnya. Karena itu, nama gedung kesenian sebaiknya tidak menggunakan nama seniman.
“Karena Balikpapan belum memiliki tokoh seniman sekaliber Ismail Marzuki yang layak dijadikan nama gedung kesenian,” ujarnya. (jid)



Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: