BISA saja ada suara sumbang yang menyoal bahwa
Dewan Kesenian Balikpapan (DKB) kini masih di kelas taman kanak-kanak.
Sesungguhnya kalaupun itu benar, bukan karena kiprah berkesenian para seniman
di kota ini telah mati suri, tapi karena DKB tidak menyentuh mereka.
Setidaknya
itulah kegelisahan yang disampaikan para seniman senior di Balikpapan. Kongko-kongko
di Gedung Biru Kaltim Post Group (KPG), para seniman itu
membedah persoalan kelembagaan DKB dan penamaan gedung kesenian Balikpapan. Mereka
berkumpul dengan pikiran yang sama: membangkitkan kembali semangat berkesenian.
“Lama sekali
kami tak berkumpul. Kongko-kongko ini menjadi inisiatif bersama. Membicarakan
tentang kontribusi para seniman terhadap kota ini,” kata Syamsul Munir Asnawi.
Asbon Sijaya,
pendiri Dewan Kesenian Manuntung (DKM) yang menjadi cikal bakal Dewan Kesenian
Balikpapan (DKB) juga hadir pada kongko-kongko itu. Penyair gaek kelahiran 1946
ini masih terlihat energik. Pikiran kritisnya mengalir deras. Hadir pula Hj.
Hadidjah. Memori guru tari itu tentang histori pembentukan DKM dan DKB masih
sangat kuat. “Pak Asbon itu mudanya gagah,” kelakar mantan sekretaris DKB dan
pendiri Arema (Arena Remaja Manuntung) pada eranya disambut gerr.
Banyak cerita
yang mengalir di acara temu kangen para seniman senior tersebut. Mereka
mengenang pertunjukan drama yang naskahnya ditulis oleh Zulhamdani AS. Ya,
Zulhamdani adalah penulis naskah drama, film, dan sinematografi. Sederet
penghargaan di kancah nasional dan internasional telah diraihnya.
“Sejarah Dewan
Kesenian Balikpapan yang semakin kabur harus diluruskan,” kata Asbon Sijaya.
Bila kemudian para
seniman tersebut berkumpul, hal tersebut dilatarbelakangi kegelisahan para
seniman senior terhadap kinerja dan program DKB yang kurang aspiratif dan minim
aktivitas. “Begitu pun mengenai usulan atau pilihan nama gedung kesenian, pemberian
nama gedung harus memahami sejarah dan filosofinya,” kata Mardianto, akademisi
jebolan perguruan tinggi seni.
Bambang Oglex tak dapat
menyembunyikan perasaan risaunya. Pengampu sanggar teater itu prihatin dengan
minimnya aktivitas berkesenian yang dimotori oleh DKB. Gelontoran dana APBD
kepada lembaga tersebut ternyata belum mampu menjadikan DKB sebagai lembaga
penggerak. “Sirkulasi kepemimpinan di DKB harus bisa jalan. Bukan dengan model
arisan,” kata Bambang.
Ke depan, kata Bambang,
DKB harus diisi oleh para seniman yang memahami arti kesenian itu sendiri dan
memiliki visi ke depan tentang berkesenian.
“Kesenian telah menjadi
komoditas ekonomi kreatif. Diperlukan perubahan paradigma kepemimpinan di DKB,”
ujarnya.
Sebangun, Munir Asnawi
berharap pemanfaatan Gedung Kesenian Balikpapan lebih dioptimalkan. Gedung
kesenian harus menjadi wadah komunikasi dan interaksi antara para seniman
dengan warga masyarakat. DKB, kata Munir, harus menjadi mediator dan
fasilitator para seniman untuk memperlihatkan karyanya kepada publik.
“Ini harapan kami dari
para seniman. Wadah berhimpun sudah ada, fasilitas sudah ada, tinggal bagaimana
menggerakkan para seniman saja,” ujarnya.
Soal penamaan gedung
kesenian, para seniman senior sepakat agar penamaannya netral dan tidak
memunculkan polemik. Nama Gedung Kesenian Balikpapan atau Gedung Kesenian
Manuntung dianggap cukup netral.
“Jika Ismail Marzuki
dijadikan nama gedung kesenian, itu memang layak karena ketokohan dan
eksistensinya dalam berkesenian,” kata Asbon.
Nama-nama seniman
dengan latar belakang keseniannya tetap dapat diakomodasi di gedung kesenian
sebagai nama-nama ruangan. Muncul sejumlah nama yang bisa dijadikan nama
ruangan-ruangan pada pertemuan tersebut. Di antaranya mantan wali kota Zainal Arifin dan Syarifudin
Yoes, pelukis Muanam, penyanyi keroncong Suprapto, penari Nyai Dasimah, dan
perintis pembentukan DKM dan DKB Sofyan Asnawi.
“Nama-nama seniman
masih kita inventarisasi dan akan diusulkan kepada wali kota. Namun, untuk nama
gedung sebaiknya yang netral,” kata Munir Asnawi.
DKM Sebelum DKB
PERTEMUAN itu terjadi
pada 1973. Bermula dari perbincangan antara Asbon Sijaya, Sofyan Asnawi, Ny.
Ludi Wardana, dan Hj. Hadidjah, mereka menggulirkan pembentukan organisasi para
seniman di Balikpapan.
Asbon dan Sofyan
berprofesi sebagai wartawan. Ludi seorang penari nasional. Sedangkan Hadidjah
seorang pegiat seni tari yang juga PNS di Pengadilan Negeri Balikpapan. Ide
pembentukan organisasi sudah dimantapkan, kemudian mereka mengundang Zainal
Arifin, Wali Kota Balikpapan pada masa itu.
Zainal merespons baik
gagasan pembentukan organissi para seniman. Zainal lantas menyodorkan nama
Dewan Kesenian Manuntung (DKM) dan disetujui.
“Seperti itu
historinya. Awalnya dibentuk DKM sebelum lahir Dewan Kesenian Balikpapan
(DKB),” cerita Asbon Sijaya didampingi Hadidjah.
DKM menjadi wadah
berhimpun pegiat seni di Balikpapan. Rumah dinas wali kota di Jalan ARS
Muhammad (sekarang rumah dinas wakil wali kota, Red.) dijadikan sekretariat
tari nasional. Pada hari-hari tertentu, para penari leleng (tarian Kutai)
terlihat berlatih di gedung Kantor Pos. Jika Kantor Pos dijadikan tempat
berlatih menari, itu karena pelatihnya seorang pegawai Kantor Pos.
“Nama pelatih tarinya
Pak Hanafi, karena dia pegawai Kantor Pos, jadilah Kantor Pos sebagai
sekretariat tari daerah,” cerita Asbon.
Di kawasan Telagasari,
Hadidjah ketiban mengurusi anak-anak berlatih tari bali dan musik. Aktivitas
berkesenian anak-anak pada saat itu bernaung di Arena Remaja Manuntung (Arema).
“Jadi, Balikpapan juga punya Arema,” ucap Hadidjah.
Sekira lima tahun
berjalan, DKM kemudian berubah nama menjadi Dewan Kesenian Balikpapan (DKB).
Motor penggeraknya masih orang-orang yang sama, yakni Asbon Sijaya, Sofyan
Asnawi, Ludi Wardana, dan Hadidjah.
Dihadiri Sekda Moesmin
Soehondo dan Bagian Kesra mewakili Pemkot Balikpapan, pertemuan itu menyepakati
pergantian nama DKM menjadi DKB. Jika kiprah Asbon dan Sofyan begitu menonjol
sebagai penggagas dan perintis DKM dan DKB, Asbon mengakui profesi mereka
sebagai wartawan sangat membantu.
“Dulu di Balikpapan
hanya ada tiga wartawan. Saya, almarhum Sofyan Asnawi dan almarhum Abdurrahman
Assegaf. Dulu, kami bertiga ini penguasa Balikpapan,” ucapnya tergelak.
Berkecimpung di
organisasi DKM dan DKB, Asbon dan Sofyan mewakili Balikpapan pada musyawarah
Dewan Kesenian Nasional (DKN) pertama di Malang dan musyawarah DKN kedua di
Makassar.
Tak hanya berkecimpung
di DKB, Asbon juga berkiprah di organisasi kesenian lainnya yakni Badan
Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Kalimantan Timur.
Kali pertama DKB
terbentuk, Sofyan Asnawi menjabat sebagai ketua. Asbon mendampingi Sofyan
sebagai sekretaris. Sementara Asbon menjabat ketua DKKNI, ia dibantu oleh
Sofyan Asnawi sebagai sekretaris dan Hadidjah sebagai bendahara.
“Saat itu, kami berdua
juga sebagai perintis pendirian KNPI. KNPI membawahi kegiatan-kegiatan DKB dan
DKKNI. Jadi, pada banyak organisasi, orang-orangnya ya hanya kita-kita ini,”
kenang Asbon.
Sibuk menangani
beberapa organisasi, pada era 80-an muncul nama Zainal Dharma Abidin yang
tiba-tiba menjadi ketua DKB. Asbon tidak tahu persis mengapa tiba-tiba Zainal
Dharma menjabat ketua DKB. “Dia mengaku seniman dari Jakarta, anak buahnya
penyair Rendra,” ujarnya.
Tongkat ketua DKB
kemudian beralih dari Zainal Dharma Abidin kepada Darwis M Noor sekira tahun
90-an. Jika kemudian muncul usulan nama
Darwis M Noor dijadikan nama gedung kesenian, usulan tersebut menjadi
pertanyaannya.
“Mengapa harus
dipertanyakan, karena DKB memiliki perjalanan dan perjuangan yang panjang.
Tidak terbentuk begitu saja,” tegas Asbon.
Pemberian nama gedung
kesenian, kata Asbon, harus memahami sejarah pendirian dan filosofisnya. Karena
itu, nama gedung kesenian sebaiknya tidak menggunakan nama seniman.
“Karena Balikpapan
belum memiliki tokoh seniman sekaliber Ismail Marzuki yang layak dijadikan nama
gedung kesenian,” ujarnya. (jid)