ads header

Wednesday, September 20, 2017

Jati Diri Kota Wali

1


Penyematan kota wali pada Cirebon bukan tanpa alasan. Selain banyak memiliki objek wisata ziarah, jejak langkah peninggalan para wali juga masih bisa ditelusuri. Di Cirebon, masih berdiri kokoh pusat kebudayaan dan keagamaan dalam lingkaran Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan.


Sekilas, tidak ada yang istimewa saat menjejakkan kaki di pintu gerbang Keraton Kasepuhan Cirebon. Pada tengah hari yang panas, Senin (24/7) pekan lalu, saya kembali berkunjung ke sana. Ini kunjungan kali kedua setelah kunjungan sebelumnya pada 2013.

Datang bersama kerabat, saya merasakan nuansa hening seperti di kebanyakan keraton yang masih bertahan di negeri ini. Namun, dalam keheningan itulah bisa disaksikan berbagai keistimewaan istana seluas 25 hektare yang berdiri sejak abad ke-14 tersebut. Itu dirasakan setelah secara runut dan perlahan, abdi dalem keraton bernama Denny yang menemani saya memberikan penjelasan. Denny masih berusia muda. Sebelum menjadi abdi dalem, dia bekerja pada perusahaan stasiun televisi satelit berlangganan.

Napak tilas ke Keraton Kasepuhan, ingatan saya melayang pada tahun 80-an dan 90-an. Keraton Kasepuhan selalu menjadi tujuan keluarga saat perayaan maulid nabi. Prosesi panjang jimat yang menjadi puncak peringatan maulid terasa sayang untuk dilewatkan. Muncul persepsi pada masyarakat bahwa panjang jimat adalah ajang gelar benda-benda bertuah. Saat tiba panjang jimat, banyak orang ingin menyentuh benda-benda pusaka dengan harapan mendapat berkah.

Bagi muda-mudi di Jawa Barat, terselip tujuan lain: berharap mendapat jodoh. Tak hanya menyentuh benda-benda pusaka, ritual lain yang acap dilakukan adalah mandi di tujuh sumur yang berada di lingkungan keraton.

Pembeda Keraton Kasepuhan dengan keraton lainnya di negeri ini adalah orisinalitas aspek fisiknya masih terjaga. Termasuk silsilah keluarganya sampai sekarang. Masjid Agung Sang Cipta Rasa adalah contoh orisinalitas yang masih terjaga. Masih terlihat utuh seperti aslinya ketika dibangun pada 1480. Masjid itu dibangun atas perintah Sunan Gunung Jati yang menunjuk Sunan Kalijaga sebagai pimpinan proyek dan Raden Sepat dari Majapahit sebagai arsiteknya. Di masjid itu juga terdapat soko tatal atau tiang dari serpihan kayu buatan Sunan Kalijaga. 

“Tradisi yang masih dipertahankan sampai sekarang adalah penyampaian kutbah Jumat di Masjid Agung masih menggunakan bahasa Arab,” kata Denny.

Keraton Kasepuhan juga masih menyimpan dengan baik piring-piring dan keramik dari Tiongkok pemberian salah satu istri Sunan Gunung Jati, Putri Ong Tin Mio, pada abad ke-15. Ada pula berbagai pusaka seperti pedang Sunan Kalijaga, pedang dan jubah Sunan Gunung Jati, golok dari Pajajaran, serta 150 naskah kuno yang tertulis dengan huruf Jawa dan Arab pegon. Naskah tersebut ditulis di lontar, dalurang, dan kertas Eropa.

Beberapa kali berkunjung ke sana, saya dapat melihat dengan jelas perubahan demi perubahan Keraton Kasepuhan. Kesan gersang dan kumuh yang sebelumnya begitu terlihat, kini berubah menjadi hijau, bersih, dan tertata. Adalah Sultan Keraton Kasepuhan PRA Arief Natadiningrat yang melakukan perubahan itu.

Pada awal bertakhta, Arief tidak terlalu percaya diri untuk benar-benar membuka keraton sebagai objek wisata murni. Ada problem klasik yang harus dia selesaikan, yaitu masalah ketertiban serta kebersihan di lingkungan keraton dan lingkungan sekitar. 

Ketidakrapian dan kotornya lingkungan tersebut mengurangi wibawa Keraton Kasepuhan. Akibatnya, orang enggan masuk ke keraton. Arief pun berjanji mengatasi masalah sampah dan ketertiban itu. Arief lalu mencanangkan untuk menanam 5 ribu pohon agar di dalam keraton tidak ada tanah telantar yang bisa dijadikan tempat pembuangan sampah. Selain itu, untuk penghijauan.

Arief yakin bahwa kebersihan dan ketertiban lingkungan akan membuat tamu betah di dalam keraton. Karena itu, setelah PR besar itu teratasi, Arief berani "membuka diri", mempromosikan keratonnya kepada wisatawan.

Hasilnya tidak sia-sia. Saat ini jumlah pengunjung Kasepuhan Cirebon rata-rata 20 ribu orang per bulan. Tentu saja setiap wisatawan yang masuk ke keraton dikenai biaya. Untuk turis domestik dipatok tarif Rp 15.000. Uang dari tiket itu semata-mata digunakan untuk biaya perawatan aset negara tersebut. 

Penguatan finansial menjadi fokus berikutnya dalam upaya pembenahan Kasepuhan Cirebon agar tetap eksis. Upaya itu sudah dimulai dengan perombakan struktur pengelolaan objek wisata agar lebih profesional. Di lingkungan keraton itu kini ada sekitar 100 pekerja yang siap melayani para wisatawan. Sebelumnya, jumlah pegawai hanya 30 orang.


Museum Baru
Inovasi kembali dilakukan oleh Sultan Keraton Kasepuhan PRA Arief Natadiningrat. Juni lalu, Museum Pusaka Keraton Kasepuhan di-launching. Sebanyak 2.000 benda pusaka yang sebelumnya tersebar pada beberapa bangunan kini terkumpul di museum baru itu.

Museum pusaka tersebut merupakan museum pertama keraton yang bernuansa modern di Indonesia. Selain nyaman, museum ini juga akan membuat pengunjung betah dan ingin belajar tentang sejarah kerajaan di Cirebon.

Museum ini juga menampilkan Kereta Singa Barong Keraton Kasepuhan yang asli. Di dalam museum tersebut, Keraton Kasepuhan juga memamerkan benda pusaka peninggalan Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Jati di satu ruangan khusus. Namun, benda pusaka peninggalan dua tokoh pendiri kerajaan tersebut hanya akan dipamerkan seminggu sekali. 

Museum ini difasilitasi teknologi modern dengan 14 kamera CCTV, enam pendingin ruangan dengan kekuatan 5 pk, audio visual, ruang kafetaria, ruang cenderamata, dan 55 lemari dengan lampu. 
Pengelola museum juga menyiapkan sebuah ruang khusus dengan pintu besi dan atap terbuat dari jaring besi serta lemari kaca menggunakan kode. Tiket masuk untuk menikmati museum tersebut Rp 25 ribu per orang.

“Museum baru itu  sebagai bagian dari kegiatan besar Festival Keraton Nusantara tahun ini di Cirebon,” jelas Denny.

Berwisata ke Kota Cirebon, jejak perjuangan dakwah Sunan Gunung Jati masih terlihat jelas. Penandanya,  beberapa kesenian tradisional berikut ragam budayanya yang bersifat keraton sentris masih terlestarikan. Selain panjang jimat, juga ada tradisi saparan, sintren, dan tari topeng.

Konon, asbabun nujul Cirebon berasal dari kata caruban yang berarti tempat pertemuan. Bahkan, salah seorang pendiri Kesultanan Cirebon adalah seorang keturunan Tionghoa bernama Haji Tan Eng Hoat alias Mohamad Ifdil Hanafi. (*)


Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca