Penyematan
kota wali pada Cirebon bukan tanpa alasan. Selain banyak memiliki objek wisata
ziarah, jejak langkah peninggalan para wali juga masih bisa ditelusuri. Di
Cirebon, masih berdiri kokoh pusat kebudayaan dan keagamaan dalam lingkaran
Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan.
Sekilas,
tidak ada yang istimewa saat menjejakkan kaki di pintu gerbang Keraton
Kasepuhan Cirebon. Pada tengah hari yang panas, Senin (24/7) pekan lalu, saya
kembali berkunjung ke sana. Ini kunjungan kali kedua setelah kunjungan
sebelumnya pada 2013.
Datang
bersama kerabat, saya merasakan nuansa hening seperti di kebanyakan keraton
yang masih bertahan di negeri ini. Namun, dalam keheningan itulah bisa
disaksikan berbagai keistimewaan istana seluas 25 hektare yang berdiri sejak
abad ke-14 tersebut. Itu dirasakan setelah secara runut dan perlahan, abdi
dalem keraton bernama Denny yang menemani saya memberikan penjelasan. Denny
masih berusia muda. Sebelum menjadi abdi dalem, dia bekerja pada perusahaan
stasiun televisi satelit berlangganan.
Napak
tilas ke Keraton Kasepuhan, ingatan saya melayang pada tahun 80-an dan 90-an.
Keraton Kasepuhan selalu menjadi tujuan keluarga saat perayaan maulid nabi.
Prosesi panjang jimat yang menjadi puncak peringatan maulid terasa sayang untuk
dilewatkan. Muncul persepsi pada masyarakat bahwa panjang jimat adalah ajang
gelar benda-benda bertuah. Saat tiba panjang jimat, banyak orang ingin
menyentuh benda-benda pusaka dengan harapan mendapat berkah.
Bagi
muda-mudi di Jawa Barat, terselip tujuan lain: berharap mendapat jodoh. Tak
hanya menyentuh benda-benda pusaka, ritual lain yang acap dilakukan adalah
mandi di tujuh sumur yang berada di lingkungan keraton.
Pembeda
Keraton Kasepuhan dengan keraton lainnya di negeri ini adalah orisinalitas
aspek fisiknya masih terjaga. Termasuk silsilah keluarganya sampai sekarang.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa adalah contoh orisinalitas yang masih terjaga.
Masih terlihat utuh seperti aslinya ketika dibangun pada 1480. Masjid itu
dibangun atas perintah Sunan Gunung Jati yang menunjuk Sunan Kalijaga sebagai
pimpinan proyek dan Raden Sepat dari Majapahit sebagai arsiteknya. Di masjid
itu juga terdapat soko tatal atau tiang dari serpihan kayu buatan Sunan
Kalijaga.
“Tradisi
yang masih dipertahankan sampai sekarang adalah penyampaian kutbah Jumat di
Masjid Agung masih menggunakan bahasa Arab,” kata Denny.
Keraton
Kasepuhan juga masih menyimpan dengan baik piring-piring dan keramik dari
Tiongkok pemberian salah satu istri Sunan Gunung Jati, Putri Ong Tin Mio, pada
abad ke-15. Ada pula berbagai pusaka seperti pedang Sunan Kalijaga, pedang dan
jubah Sunan Gunung Jati, golok dari Pajajaran, serta 150 naskah kuno yang
tertulis dengan huruf Jawa dan Arab pegon. Naskah tersebut ditulis di lontar, dalurang,
dan kertas Eropa.
Beberapa
kali berkunjung ke sana, saya dapat melihat dengan jelas perubahan demi
perubahan Keraton Kasepuhan. Kesan gersang dan kumuh yang sebelumnya begitu
terlihat, kini berubah menjadi hijau, bersih, dan tertata. Adalah Sultan
Keraton Kasepuhan PRA Arief Natadiningrat yang melakukan perubahan itu.
Pada
awal bertakhta, Arief tidak terlalu percaya diri untuk benar-benar membuka
keraton sebagai objek wisata murni. Ada problem klasik yang harus dia
selesaikan, yaitu masalah ketertiban serta kebersihan di lingkungan keraton dan
lingkungan sekitar.
Ketidakrapian
dan kotornya lingkungan tersebut mengurangi wibawa Keraton Kasepuhan.
Akibatnya, orang enggan masuk ke keraton. Arief pun berjanji mengatasi masalah
sampah dan ketertiban itu. Arief lalu mencanangkan untuk menanam 5 ribu pohon
agar di dalam keraton tidak ada tanah telantar yang bisa dijadikan tempat
pembuangan sampah. Selain itu, untuk penghijauan.
Arief
yakin bahwa kebersihan dan ketertiban lingkungan akan membuat tamu betah di
dalam keraton. Karena itu, setelah PR besar itu teratasi, Arief berani
"membuka diri", mempromosikan keratonnya kepada wisatawan.
Hasilnya
tidak sia-sia. Saat ini jumlah pengunjung Kasepuhan Cirebon rata-rata 20 ribu
orang per bulan. Tentu saja setiap wisatawan yang masuk ke keraton dikenai
biaya. Untuk turis domestik dipatok tarif Rp 15.000. Uang dari tiket itu
semata-mata digunakan untuk biaya perawatan aset negara tersebut.
Penguatan
finansial menjadi fokus berikutnya dalam upaya pembenahan Kasepuhan Cirebon
agar tetap eksis. Upaya itu sudah dimulai dengan perombakan struktur
pengelolaan objek wisata agar lebih profesional. Di lingkungan keraton itu kini
ada sekitar 100 pekerja yang siap melayani para wisatawan. Sebelumnya, jumlah pegawai
hanya 30 orang.
Museum
Baru
Inovasi
kembali dilakukan oleh Sultan Keraton Kasepuhan PRA Arief Natadiningrat. Juni
lalu, Museum Pusaka Keraton Kasepuhan di-launching. Sebanyak 2.000 benda pusaka
yang sebelumnya tersebar pada beberapa bangunan kini terkumpul di museum baru
itu.
Museum
pusaka tersebut merupakan museum pertama keraton yang bernuansa modern di
Indonesia. Selain nyaman, museum ini juga akan membuat pengunjung betah dan
ingin belajar tentang sejarah kerajaan di Cirebon.
Museum
ini juga menampilkan Kereta Singa Barong Keraton Kasepuhan yang asli. Di dalam
museum tersebut, Keraton Kasepuhan juga memamerkan benda pusaka
peninggalan Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Jati di satu ruangan khusus. Namun,
benda pusaka peninggalan dua tokoh pendiri kerajaan tersebut hanya akan
dipamerkan seminggu sekali.
Museum
ini difasilitasi teknologi modern dengan 14 kamera CCTV, enam pendingin ruangan
dengan kekuatan 5 pk, audio visual, ruang kafetaria, ruang cenderamata, dan 55
lemari dengan lampu.
Pengelola
museum juga menyiapkan sebuah ruang khusus dengan pintu besi dan atap terbuat
dari jaring besi serta lemari kaca menggunakan kode. Tiket masuk untuk
menikmati museum tersebut Rp 25 ribu per orang.
“Museum
baru itu sebagai bagian dari kegiatan besar Festival Keraton Nusantara
tahun ini di Cirebon,” jelas Denny.
Berwisata
ke Kota Cirebon, jejak perjuangan dakwah Sunan Gunung Jati masih terlihat
jelas. Penandanya, beberapa kesenian tradisional berikut ragam budayanya
yang bersifat keraton sentris masih terlestarikan. Selain panjang jimat, juga
ada tradisi saparan, sintren, dan tari topeng.
Konon,
asbabun nujul Cirebon berasal dari kata caruban yang berarti tempat pertemuan.
Bahkan, salah seorang pendiri Kesultanan Cirebon adalah seorang keturunan
Tionghoa bernama Haji Tan Eng Hoat alias Mohamad Ifdil Hanafi.
(*)