ads header

Wednesday, September 20, 2017

Imdaad Hamid

0

DI HARI ULANG TAHUN: Saya bersama sejumlah pengurus MUI Kota Balikpapan di kediaman Imdaad Hamid.

SAYA ajukan pertanyaan ini kepada Imdaad Hamid: dalam kondisi anggaran Balikpapan yang defisit, apa yang musti dilakukan pemimpin kota ini? Imdaad tak langsung menjawab. Mantan Wali Kota Balikpapan dua periode itu perlu berpikir beberapa menit. “Harus lebih kreatif. Harus bekerja tidak seperti biasanya,” jawab Imdaad.

Perbincangan ini sudah cukup lama. Malam hari. Di perayaan ulang tahunnya, 5 Juli lalu. Obrolan yang cukup panjang. Sekira dua jam. Abah -- demikian saya biasa menyapa, berbicara dengan intonasi suara rendah. Saya perlu merapat untuk mendengarkan apa yang diutarakannya. Berbincang tentang banyak hal. Tentang kota ini. Tentang kepemimpinan. Tentang pemberdayaan ekonomi warga.

Kata abah, kerja-kerja kreatif itu harus konkret. Harus bisa menerima sumbang saran dari masyarakat. Harus berkolaborasi dengan kekuatan rakyat. Harus berpikiran out of the box. Manakala kreativitas itu tidak diperlihatkan, adalah wajar apabila masyarakat menjadi kesal. Lalu muncul perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah. 

Saya ajukan pertanyaan lain. Tentang program ekonomi kerakyatan. Tentang realitas masyarakat yang mencari penghidupannya dengan cara-caranya sendiri. Tentang penilaian bahwa masyarakat berada dalam pemerintahan auto pilot. Menyinggung anggaran yang kurang pro usaha mikro-kecil. Intinya, tentang program “perut” rakyat.

Bicara urusan perut, menurut Abah permasalahan ini bersentuhan dengan urbanisasi. Ini pekerjaan berat pemerintahan Rizal Effendi-Rahmad Mas’ud. Jika dulu Balikpapan bisa memproteksi pendatang, sekarang tidak bisa lagi. Pikiran Abah melayang ke belakang. Mengingat kembali program pengendalian kemiskinan pada masa pemerintahannya. “Dulu kita punya program 9 menggendong 1. Sekarang, beban Pak Rizal dan Pak Rahmad lebih berat. Urbanisasi tidak bisa lagi dikendalikan,” kata Abah.

Sebagai ekonom, Abah mendorong agar pemerintah daerah memberikan stimulus terhadap pelaku usaha. Memberikan kemudahan-kemudahan. Memberikan akses modal. Membantu manajemen dan pemasarannya. Yang lebih penting lagi, aparatur pemerintahan harus keluar dari zona nyaman. “Tidak mudah, tapi harus dilakukan dalam kondisi anggaran yang defisit,” ujarnya.

Peran pemerintah daerah sebagai operator yang masih tinggi digarisbawahi oleh Abah. Ini bicara soal sistem kinerja. Orientasi program yang didasarkan pada daftar isian proyek (DIP) menjadikan peran operator pemerintah masih tinggi. Meskipun sistem baru berbasis kinerja sudah berjalan, Abah menilainya masih belum optimal. Lagi-lagi ini bersinggungan dengan etos kerja pegawai. Terlalu banyak pegawai yang pandai mengakalinya.

“Dulu setiap pegawai harus menyusun checklist. Harus menuliskan apa yang akan dikerjakannya pada hari itu,” cerita Abah.

Persoalan yang muncul, pegawai berlomba membuat daftar pekerjaan sebanyak mungkin. Ketika dievaluasi dan dimintai pertanggungjawaban, bobrok pun terungkap: miskin pekerjaan.

“Panjang di daftar pekerjaan, tapi tak ada yang dikerjakan,” urai Abah.

Abah meyakini sistem checklist sangat baik apabila benar-benar dikerjakan dengan baik. Tantangan terbesarnya adalah mengubah cara pandang dan sikap mental birokratnya. “Karena mereka sudah terbiasa berada di zona nyaman,” ujarnya.

Ada harapan dari Abah terhadap Rahmad Mas’ud yang telah masuk ke dalam kolam keruh pemerintahan. Dengan latar belakangnya sebagai saudagar, Abah menilai ada karakter tegas yang dimiliki seorang saudagar. Pedagang selalu berbicara untung dan rugi. Dalam bertindak, seorang saudagar tidak melihat persoalan secara menyeluruh. Prinsip pedagang: yang terlihat merugikan harus dibabat.

“Ketika melihat ada gap yang besar antara yang kaya dan miskin, seorang saudagar yang masuk di pemerintahan semestinya bisa dengan cepat mengambil tindakan. Berbeda dengan birokrat yang memiliki mindset mengemong,” ucap Abah.

Secara langsung, tampaknya Abah ingin melihat kreativitas-kreativitas dari seorang saudagar bernama Rahmad Mas’ud. Melihat cara Rahmad Mas’ud untuk mengisi kantong pendapatan yang mengempis. Melihat kegesitan sang kancil dalam mengatasi urusan perut rakyat. 

Rahmad sempat berujar pada suatu kesempatan kepada saya. Ibarat berbisnis, tahun pertama dirinya masuk pemerintahan adalah tahun perencanaan. Pada tahun kedua dan ketiga lah perencanaan-perencanaan itu akan dieksekusi. “Tahun keempat dan kelima, baru akan terlihat hasilnya,” ujar Rahmad.

Beruntung, di Balikpapan cukup banyak lembaga-lembaga yang peduli terhadap permasalahan pemberdayaan ekonomi warga. Sebut saja Indonesia Islamic Busines Forum (IIBF), Preneur Station (PS), Komunitas Tangan di Atas (TDA), atau Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI). Saya ditemani Bung Alfa, ketua IIBF Balikpapan saat berbincang dengan Abah malam itu.

Mendiskusikan upaya-upaya pemberdayaan ekonomi umat. Membicarakan gerakan-gerakan dan edukasi untuk mencetak calon-calon pengusaha yang bisa meningkatkan produktivitas usaha. IIBF misalnya, kiprahnya diawali melalui gerakan memboikot produk-produk luar negeri yang semakin merajalela. Melawan produk zionis dengan membangun produk dalam negeri.

“Gerakan beli produk Indonesia itu akhirnya mendapat pertanyaan? Produk dalam negeri apa yang harus dibeli?” cerita Alfa.

IIBF tak mundur. Lalu mendatangkan para ahli untuk membuat produk-produk lokal. Contoh sederhana mengajarkan cara membuat sabun. “IIBF memberikan solusi kepada masyarakat bahwa ada produk-produk pengganti produk-produk Unilever,” ujar Alfa.

Berjalan dua tahun, pola konsumsi masyarakat sudah menoleh produk-produk muslim. Sekarang produk muslim mulai beragam. Bekerja sama dengan PKPU, IIBF menggandeng pesantren-pesantren. Memberikan pelatihan-pelatihan. Dari yang kecil. Membuat bumbu masak. “Sudah ada penyedap rasa buatan lokal Balikpapan yang tidak mengandung MSG. Tinggal mengedukasi masyarakat agar menggunakan produk lokal,” ujarnya.

Dengan membeli produk lokal, ekonomi kerakyatan diharapkan bisa bertumbuh. Distribusi produk lokal pun mulai merambah ke banyak gerai. “Kita berikan penyadaran kepada masyarakat bahwa produk domestik juga baik,” ujar Alfa.

Inilah peran konkret yang dilakukan komunitas-komunitas pemberdaya ekonomi umat di kota ini. Dengan perannya sebagai regulator, mereka hanya berharap agar pemerintah memberikan stimulus dan regulasi yang berpihak terhadap pengembangan ekonomi masyarakat. (*)
Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: