ads header

Wednesday, September 20, 2017

"Bercocok Tanah" di Jatiwangi

0

MUSIK KERAMIK: Dari tanah Jatiwangi telah tercipta beragam alat musik.


Banyak cerita tentang Jatiwangi, kecamatan di Kabupaten Majalengka. Bicara tentang arsitektur Indonesia, belum lengkap tanpa menyebut genteng Jatiwangi. Ya, bagi masyarakat Jatiwangi, genteng tak lagi sebagai komoditas, tapi juga identitas.


JATIWANGI. Di sinilah saya menemui kenangan masa kecil dan remaja. Pada Jatiwangi, rindu selalu berpendar. Pada masanya, tempat kelahiran sastrawan Ajip Rosidi ini sempat tersohor karena pabrik gulanya. Tapi kali ini, saya ingin bercerita tentang tanah Jatiwangi yang telah menjadi laboratorium bagi ilmuwan dan seniman. Juga tentang Jatiwangi art Factory (JaF), komunitas yang fokus terhadap kajian kehidupan lokal perdesaan lewat kegiatan seni dan budaya.

Begitu banyak masyarakat Jatiwangi yang menggantungkan hidupnya dari genteng. Genteng bahkan pernah dijadikan alat ukur dalam pembelian. Dari usaha genteng, klub bola level kampung bisa mendatangkan pesepakbola dari Persib. 

“Satu orang pemain persib seharga satu colt diesel genteng,” kata Iklila, mantan kepala Desa Burujul Wetan. Sekarang, satu colt diesel seharga lima jutaan.

Jatiwangi diberkahi tanah yang baik. Keberadaan pabrik genteng memiliki peran dalam pengembangan masyarakat. Begitu tersohornya genteng Jatiwangi, distribusi genteng Jatiwangi meluas ke seluruh wilayah Jawa hingga luar Jawa.

Di pabrik genteng, saya memiliki banyak kenangan. Mengingat saat bermain bersama teman sebaya di pabrik genteng. Bermain tanah liat sebelum dicetak menjadi genteng. Jatiwangi saat ini adalah kawasan yang berkembang. Dimulai dari adanya jalan tol, mal, dan bandara internasional. Banyak pabrik genteng yang menyerah dan beralih fungsi menjadi pabrik garment. Globalisasi dan arus cepat perubahan tak pelak juga mengalir ke desa maupun kampung. Ditambah dengan rencana pembangunan Bandar Udara Internasional Kertajati di Majalengka.

Adalah Arief Yudi dan istrinya Loranita Theo, serta saudaranya, Ginggi Syarif Hasyim sebagai pelopor pendiri JaF. Saya mengenal baik Ginggi Hasyim. Sarjana arsitektur yang sempat menjadi kuwu (kepala desa) Jatisura, Jatiwangi selama dua periode itu adalah teman satu sekolah saya di SMP Jatiwangi. 

Lewat jalur seni dan budaya, mereka pun membentuk Jatiwangi art Factory pada 27 September 2005. Organisasi nirlaba itu berfokus pada kajian kehidupan lokal pedesaan lewat kegiatan seni dan budaya seperti, festival, pertunjukan, seni rupa, musik, video, keramik, pameran, residensi seniman, diskusi bulanan, siaran radio, televisi lokal, dan pendidikan.

JAF mempunyai program rutin festival residensi, festival video residensi, dan festival musik keramik. Program-program tersebut acap mengundang seniman dari berbagai disiplin ilmu dan negara. Mereka kemudian tinggal sementara waktu, berinteraksi, bekerja sama dengan warga desa, merasakan kehidupan masyarakat Jatiwangi, serta merumuskan dan membuat sesuatu yang kemudian dipresentasikan dan dikabarkan kepada semua orang.

Salah satu program tahunan yakni Video Village Festival yang pada 2016 berjudul Tuan Rumah. Salah satu program festival video yaitu media centre, menjadi ajang berbagi kemampuan dasar bagi warga terutama menyunting video. “Kalau ke depannya bisa jadi tambahan pengetahuan untuk jadi lapangan pekerjaan, ya senang sekali,” ujar Ginggi.

Mulai 2017, Village Video Festival dirancang menjadi semacam akademi atau laboratorium video dengan program pelatihan. Tanah Jatiwangi juga menarik minat para peneliti untuk dijadikan laboratorium riset. Pusat Penelitian Kebudayaan Tanah telah mencatat sekaligus mendokumentasikan fakta dan kisah mengenai para manusia pengolah tanah sehingga menjadi kebudayaan di Jatiwangi.

Kurikulum tanah adalah salah satu pelantar program tahun tanah pada 2015. Mengundang perupa dari luar JaF untuk menggunakan moda artistiknya, dan mendorong para perupa muda untuk menguji-coba praktik artistik pribadinya melalui kegiatan pameran.

Jumat (28/7) pekan lalu, Kuo Ying Hsiu, seorang seniman transdisiplin dan dosen di Departemen Media dan Komunikasi Visual Universitas Chang Gung, Taiwan melakukan residensi di Jatiwangi art Factory. Karya-karyanya berfokus pada isu sosial dan relasi antara lokasi dan identitas. 

“Belum lama ini juga akademisi dari Reallabs University juga datang. Lewat program pendidikan, mereka menawarkan lanskap kultural sebagai paradigma utama,” kata Ginggi.

Sebuah program baru tengah diluncurkan JaF memasuki usianya di tahun ke-12. JaF berniat mengarsipkan dan membagikan kepada khalayak tentang ragam ide dan wacana dari para seniman, periset, arsitek musisi, desainer, aktivis, mahasiswa yang telah datang ke JaF.

“Karena kami percaya bahwa setiap orang memiliki pengetahuan yang bisa dibagi, maka program ini berniat untuk dibagikan,” ujar Ginggi.

Ginggi memaparkan, bau tanah Jatiwangi telah menginspirasi seniman muda untuk menjadikannya sebagai aroma parfum. Penggagas parfum aroma tanah ini adalah Julian Abraham, seorang seniman asal Medan yang sedang bermukim di Jatiwangi. Dalam proses pembuatannya, Julian menggandeng sejumlah peneliti di Sekolah Ilmu Teknik Hayati ITB.

Parfum bau tanah yang dibuat oleh Julian menggunakan tanah Jatiwangi. Tanah yang biasa digunakan untuk membuat genteng dan menjadi produk genteng. Julian meracik parfum buatannya di laboratorium ITB. Dalam prosesnya, ia melakukan pembiakan mikroorganisme. Kemudian mendestilasi atau tanah diikat dengan minyak nilam. 

“Parfum tanah hasil eksplorasi Julian hanyalah satu dari sekian banyak eksplorasi yang telah dilakukan terhadap tanah Jatiwangi,” kata teman saya yang ketika kecil dikenal badung ini. (*)
Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: