ads header

Wednesday, September 20, 2017

Bambang Oeban dan Seni Pertunjukan

0
PERTUNJUKKAN KESEMESTAAN: Penulis dan penyair Bambang Oeban.


Menonton pertunjukan teater atau seni budaya hanya monopoli sebagian kalangan tertentu. Kesan berat, mahal, dan perlu usaha ekstra demi memahami cerita, membuat orang berpikir-pikir untuk datang menonton seni pertunjukan. Penontonnya biasanya orang itu-itu saja.

KAMIS (7/11) siang, kesibukan terlihat di Ballroom Hotel Gran Senyiur Balikpapan. Seorang laki-laki berambut putih gondrong berteriak-teriak memerintah tukang. “Pasang yang rapi, jangan terlalu banyak dipaku,” perintah laki-laki bercelana pendek itu. 

Dua banner panjang bergambar topeng menjuntai dari langit-langit menghiasi panggung. Backdrop berukuran raksasa bertuliskan “Tidak Aku tapi Kita” sudah terpasang rapi. Laki-laki yang sudah menghabiskan tiga bungkus sigaret itu terlihat puas. “Beginilah kerja seniman Indonesia,” ujarnya tertawa. Pukul 14.00 siang itu, gladi kotor pertunjukan semestinya sudah berlangsung, namun molor.

Laki-laki berambut putih gondrong itu adalah Bambang Oeban. Seorang penyair, murid W.S Rendra. Datang dari Jakarta, dia didapuk menjadi sutradara pentas budaya bertemakan apresiasi sejarah: tidak aku tapi kita. Tidak tanggung-tanggung, pertunjukan teater musikal kolosal itu melibatkan 150 orang.

Bukan perkara mudah bagi Bambang Oeban untuk mengarahkan ratusan orang yang terlibat pada pertunjukan sesuai keinginannya. Saya tak sempat menonton pertunjukan yang digelar pada Sabtu (9/11) itu. Namun, alur cerita pentas sudah saya ketahui saat melihat mereka berlatih sebelum tampil.

Pentas budaya menampilkan keberagaman seni budaya nusantara yang telah membaur dengan budaya lokal Kalimantan Timur. 

Di area lobi hotel dan pintu masuk acara, penari jepen, padupa, tor-tor, hudog, pemusik kentong bergalang, dan gordang sambilan menyambut para tamu undangan. Pemukulan gong tiga kali menjadi penanda acara pentas budaya dimulai. Lantunan lembut musik Sampe dan suara beduk berkala menjadi ilustrasi pengantar acara.

Dari sisi panggung, satu per satu personil paduan suara dari Universitas Balikpapan naik ke atas panggung. Mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dari sisi lain, pemain biola dari ISI Jogja menggesek dawai biolanya membawakan nada irama “Gugur Bunga”. Lima anak nusantara berpakaian adat menyusul naik ke atas panggung. Mereka berlarian ke sana ke mari sambil memegang bendera merah putih. Pembacaan sajak berseling di antara pesan-pesan kebangsaan kemudian disampaikan beberapa tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah.

Inilah pertunjukan yang disebut Oeban sebagai pertunjukan kesemestaan. Seni pertunjukan yang merangkul. Yang melibatkan seniman daerah. Diperlukan cara dan strategi untuk menciptakannya. Ya, seni pertunjukan yang bisa mengajak para birokrat dan masyarakat. Oeban sudah melakukan itu di banyak daerah. 

Ketika menggelar pentas seni “Mengenang Gajah Mada” di Kampus UGM Jogja, Oeban tak banyak membawa orang. Ia membujuk Rektor UGM Profesor Pratikno yang kini menjabat menteri sekretaris negara (mensesneg) dan para mahasiswa UGM agar terlibat.

“Kebanyakan pekerja seni yang sudah terkenal selalu membawa banyak orang. Orang daerah hanya menjadi penonton,” kata Oeban.

Oeban mencoba membalik kebiasaan itu. Pertunjukan seni yang dibawakan olehnya selalu menonjolkan kearifan lokal. Selalu melibatkan masyarakat di daerah. Karena dia tahu talent seni di daerah sangat banyak. 

“Harus ada kesadaran untuk mengolah mereka. Agar mereka merasa terhormat. Pertunjukan seni dari mereka oleh mereka lebih diterima,” ujarnya.

Kepada Oeban, saya bertanya tentang pasang-surut pertunjukan seni. Pertanyaan yang lebih dalam, tentang mati surinya pertunjukan seni tradisi. Oeban dapat memahami kondisi ini. Dia melihat kebudayaan masih dianggap sebagai pelengkap penderita. Jika kebudayaan menjadi mati suri, menurutnya itu karena pemerintah tidak pernah berpikir untuk menomorsatukan kebudayaan.

“Kalau berbicara dengan pemerintah tentang kebudayaan, tentang nilai-nilai proyek kebudayaan, tidak mungkin pemerintah akan menomorsatukannya. Mengapa? Karena kebudayaan sudah ada sebelum pemerintahan,” ujarnya.

Maka, apabila gedung kesenian megah yang telah terbangun di banyak daerah, termasuk di Kota Balikpapan terlihat mati suri dari kegiatan berkesenian, Oeban dapat memakluminya. “Jangankan di Balikpapan, di Jogja yang terkumpul banyak seniman juga mati suri,” ucapnya.

Lalu kesalahannya di mana? Dengan tegas, Oeban menyebut kesalahannya ada pada seniman sendiri. Ketika para seniman tidak pernah berpikir untuk membangun daya rangsang masyarakat untuk berkesenian, kemarau berkesenian akan semakin panjang. “Teater milik semua. Bukan hanya milik orang-orang teater,” ujarnya lagi.

Menyebut Teater Koma yang memiliki fans cukup banyak, juga pandangan bahwa seni pertunjukan telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat perkotaan; menonton seni pertunjukan tak hanya dipandang memiliki gengsi, tapi juga hiburan tersendiri, Oeban buru-buru mengatakan agar jangan melihat teater pada satu sisi. Menurut dia, teater harus dilihat secara utuh.

Oeban memotret penonton pertunjukan seni belum meluas. Masih didominasi komunitas. Karena penontonnya komunitas, yang menonton orangnya yang itu-itu saja. “Saya bicara fakta. Dan faktanya memang seperti itu,” tegasnya.

Menurut Oeban, Indonesia sedikit ketinggalan dalam mengeksplorasi keterkaitan antara satu karya seni dan lainnya. Keterbatasan infrastruktur yang mendukung pertunjukan seni menjadi salah satu penyebabnya. Geliat seni pertunjukan di Kota Balikpapan semestinya semakin bergairah setelah mendapat wadah yang layak bagi para seniman. 

“Kalau gedung keseniannya tetap sepi, kesalahannya tetap pada senimannya,” ucapnya. (*)










Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: