Catatan Ajid Kurniawan
DENGAN nada kesal, seorang netizen
membulatkan tekad untuk golput pada Pilwali Balikpapan 2015 lalu. Namun,
pilihan politik golput itu masih bisa berubah apabila tim sukses dan relawan
kandidat mampu memaparkan konsep dan strategi ekonomi secara jelas dan terukur.
Dia menilai pemerintah daerah belum
mampu mengurusi urusan isi dompet warganya. Masyarakat berebut lahan penghidupan
dengan cara-caranya sendiri. Oleh karena itu, wali kota terpilih harus mengedit
kebijakan ekonominya.
Isu distribusi pendapatan merujuk pada
persoalan seberapa jauh pendapatan terdistribusi secara merata di antara kelompok-kelompok masyarakat
menjadi tema diskusi. Intisarinya, pemilih mewakili kelompok nonformal
menghendaki adanya kebijakan konkret dari wali kota terpilih berkaitan dengan
kemudahan akses modal masyarakat dari kelas sosial yang berbeda.
Di kalangan yang lebih luas—terutama
mereka yang terkena rasionalisasi dan dipaksa menganggur, atau yang masih
menganggur, betapa rasionalisasi itu telah menghasilkan jumlah pengangguran
yang terus naik. Kata mereka: sungguh aneh bila birokrat mengklaim angka
pengangguran bisa ditekan atau berkurang pada saat pertumbuhan ekonomi
terjerembab minus.
Keluhan-keluhan semacam ini tentunya
bisa terus bertambah—sebanyak golongan-golongan sosial yang terlanda gelombang
rasionalisasi itu. Beberapa kalangan cerdik pandai kemudian menyimpulkan: buat
apa kita sok berpolitik anggaran belanja berimbang. Kita ini miskin
sumber-sumber ekonomi dan masyarakat perlu sumber-sumber ekonomi yang banyak.
Maka, defisit anggaran belanja sebenarnya hal yang biasa sesuai faktanya.
Kembali ke kegaduhan diskusi ala sosmed,
dari referensi kreatifitas pemberdayaan ekonomi lokal, bergulir dua pilihan
program. Pertama melalui Koperasi Rukun Tetangga (RT). Kedua, pengelolaan
keuangan nonbank berupa lembaga keuangan kelurahan (LKK).
Dalam sejarah ekonomi kerakyatan,
koperasi sebenarnya bukan hal baru. Saking lamanya, program ini berkali-kali
mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Krisis ekonomi telah mengajarkan
bahwa kehancuran perekonomian disebabkan oleh tidak adanya lembaga-lembaga
ekonomi yang cukup tangguh untuk menghadapi krisis yang tiba-tiba menghantam.
Koperasi RT dibentuk untuk memperkuat
ekonomi kerakyatan pada level masyarakat terendah (RT), membangun kemandirian
ekonomi masyarakat, dan menjadikannya sebagai induk usaha bagi beragam unit
usaha di tingkat RT.
Fokus utama pemberdayaan diletakkan pada
RT karena anggotanya berdomisili berdekatan sehingga saling mengenal. RT juga
tidak dapat dibubarkan dan keanggotaannya sangat jelas. Kontrol dapat dilakukan
setiap bulan melalui pertemuan bulanan sehingga lebih transparan.
Bagaimana peran pemerintah daerah? Belajar
lah kepada Kabupaten Wonogiri. Di sana, Koperasi RT mendapat suntikan dana
hibah bantuan APBD dan pinjaman Bank Pembangunan Daerah (BPD). Program ini
diapresiasi sangat baik oleh warga.
Kreatifitas lain diciptakan oleh Kota
Magelang. Bukan model koperasi yang dipakai sebagai bentuk pengelolaan keuangan
nonbank, tetapi berupa lembaga keuangan kelurahan (LKK). LKK disponsori oleh
Pemkot Magelang dan masyarakat kelurahan. Dikelola oleh masyarakat dalam rangka
memfasilitasi pemenuhan kebutuhan mendapatkan dana, menyimpan uang, maupun
kebutuhan usaha lain.
Lembaga ini dimaksudkan agar dapat
memberikan fasilitas layanan kepada masyarakat secara langsung di bidang
keuangan, permodalan, dan simpan pinjam dengan persyaratan yang relatif
sederhana, ringan, tertib, dan lancar.
Produk atau bidang usaha yang dimiliki
beragam. Ada simpanan alternatif bernama “Celengan Jago”, “Damas” (Dana
Masyarakat), pinjaman barang “Alda” (Alat Dagang), pinjaman alternatif bernama
“Pintar” (Pertanian Terpadu Hasil Besar).
Sumber dana diperoleh dari pemerintah, partisipasi masyarakat, dan
bantuan kegiatan lain yang sah.
“Saya lebih cocok program Koperasi RT.
Lebih menyentuh level masyarakat paling bawah,” komentar netizen yang calon
golput tadi di grup publik Suara Pemilih Cerdas Balikpapan.
Ketika kemandirian ekonomi masyarakat
pada level paling bawah telah terbangun, keuntungan yang tersimpan di lemari
besi Koperasi RT dan LKK bisa diarahkan untuk pembangunan dan keperluan lainnya
di lingkup RT dan kelurahan. Pada akhirnya, wali kota tak perlu lagi mengeluh
lantaran dipusingkan permintaan bantuan hewan kurban dari ketua RT yang
jumlahnya ribuan itu.
Dari kabupaten tetangga Penajam Paser
Utara (PPU), pemerataan akses modal telah digulirkan sejak tahun 2005. Pada
saat bank pemerintah meluncurkan program kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga
pinjaman hingga 14 persen, PPU melalui bank perkreditan rakyat (BPR) pernah menggulirkan
bunga pinjaman hanya sebesar empat persen.
“Ini
cara PPU untuk keluar dari cara-cara biasa. Uang harus banyak beredar di
masyarakat, bukan di pemerintah,” kata Bupati PPU Yusran Aspar.
Dari dana awal sebesar
Rp 7 miliar, dana bergulir penyertaan modal bagi pelaku usaha yang telah
disalurkan melalui BPR telah mencapai Rp 42 miliar. Bunga pinjaman dari dana
bergulir itu hanya sebesar enam persen per tahun, dan BPR maupun Pemkab PPU
memperoleh keuntungan tiga persen.
"Suku bunga
pinjaman yang rendah mampu menggairahkan usaha mikro, kecil dan menengah,"
kata Winarno, Pimpinan BPR Ibadurrahman PPU.
Inovasi pemberdayaan
lembaga ekonomi lokal seperti koperasi juga dilakukan di kabupaten pecahan Kabupaten
Paser itu. Pada sektor perkebunan misalnya, konsepnya berwujud kemitraan antara
koperasi kelompok plasma dengan perusahaan inti plasma. Ada pula koperasi
peternakan.
“Model kemitraan membuat koperasi
memiliki nilai tawar. Meski pihak perusahaan lebih banyak untung, minimal ada
yang nyangkut ke koperasi,” ujar Yusran.
Begitulah, pelbagai inovasi penguatan
akses modal terserak di banyak daerah.
Tentunya, program pemerataan distribusi akses modal disertai dengan
program optimalisasi pemanfaatan bantuan modal tersebut.
Orang bijak mengatakan, setiap persoalan
pasti ada jalan keluarnya. Gunakan semua tenaga
dan akal pikiran untuk berbuat, bukan hanya mengeluh, mengeluh, dan terus
mengeluh. (ajid.kurniawan@kaltimpost.co.id)