CATATAN AJID KURNIAWAN
CUKUP
lama saya tak bersua dengan pak Tonny Chandra. Sekira 10 tahun. Setelah hijrah
ke Sampit selama delapan tahun dan kembali ke Balikpapan lebih kurang dua tahun
ini, sudah dua kali saya bertemu dengannya.
Kali
pertama jumpa kembali terjadi setahun lalu. Pagi itu, saat sarapan di Restoran
Hotel Platinum ditemani pak Soegianto, Direktur Operasional Hotel Platinum, pak
Tonny muncul belakangan.
Pak
Tonny seorang pengingat yang baik. Ia masih mengingat saya. Pun sebaliknya.
Saya tak mungkin lupa. Secara fisik pak Tonny tak banyak berubah. Kami bertipe sama: konsisten menjaga body alias sulit berkembang.
Saya
dan pak Tonny menyimpan cerita lama. Dulu, ketika memotret masih menggunakan
kamera analog, seringkali saya harus menggedor Studio Foto Rajawali milik pak
Tonny saat sudah tutup. Maklum, hasil cetak foto sangat diperlukan untuk
penerbitan koran keesokan harinya. Gedoran dan telepon saya sudah pasti
mengganggu jam istirahat pak Tonny. Ia tersenyum mendengar cerita itu.
Belakangan saya menjadi tahu bahwa owner Hotel
Platinum adalah pak Tonny.
Rabu,
7 September lalu, saya bersama rekan
sekantor Eddy Addha kembali kongkow-kongkow dengan pak Tonny. Pada pertemuan
kali kedua ini, pak Tonny memperlihatkan sebuah kejutan. Membuka obrolan di
Barium Bar Hotel Platinum, pak Tonny menawarkan minuman spesial: kopi
Kintamani.
“Minum
kopi sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Karena alasan itu, kopi juga kita
sajikan di sini (Barium Bar, Red.),” ucap pak Tonny.
Bukan
sekadar disuguhi kopi, pak Tonny juga mampu menjelaskan proses pembuatannya
secara detil. Termasuk bagaimana cara menikmati kopi. Tampak sekali jika ia
memahami seluk beluk dunia perkopian hingga pengolahannya.
Saya
tak yakin kemampuan pak Tonny dalam meracik kopi didapat secara autodidak.
Benar saja, rupanya ilmu itu ia dapatkan setelah berguru kepada punggawa kopi.
“Saya sempat ambil short course selama
tiga bulan di Bali,” ungkap pak Tonny.
Pantaslah apabila
pak Tonny begitu piawai meracik kopi. Ilmunya kemudian ditularkan kepada
barista Barium Bar. Jika kopi Kintamani dan kopi Palu menjadi pilihannya,
pilihan itu semata-mata agar kopi sajian Barium Bar memiliki kekhasan.
Bagi
pecinta kopi, karakteristik rasa kopi memang digilai untuk dinikmati
sensasinya. Begitu juga rasa asam yang keluar pada jenis kopi tertentu. Kopi
Kintamani asal Bali misalnya, sensasi rasa asam yang muncul justru menunjukkan
kualitas kopi.
"Di
asamnya kopi Kintamani itulah yang menjadi ciri khasnya, dan itu yang membuat
harga kopi ini lebih mahal,” kata pak Tonny.
Menikmati
kopi Kintamani olahan Barium Bar, sensasi rasa buah jeruk terkecap di lidah.
Terasa segar di mulut. Lalu pak Tonny bicara tentang kopi Kintamani yang sangat
dipahaminya. Tentang bahan-bahan spesial dan teknik pengolahannya hingga
tersaji kopi Kintamani bercitarasa tinggi.
“Bagaimana
rasanya?” tanya pak Tonny. Saya katakan apa yang dijelaskannya sama persis
seperti yang terasa di lidah.
“Kopi
Arabika Kintamani memang memiliki rasa dan aroma
berbeda dibandingkan kopi jenis lainnya,” timpal pak Tonny.
Menurutnya
kesegaran kopi dapat menghilang karena faktor waktu, udara, kelembaban, suhu
panas dan cahaya, sehingga rasanya pun berubah. Oleh karena itu, diperlukan
trik khusus agar kualitasnya tetap terjaga. Penggunaan air yang berkualitas
juga memengaruhi rasa clan kopi yang maksimal.
Saya
kembali bertanya tentang rasa asam yang dikhawatirkan berpengaruh terhadap
lambung. Kepada kami, pak Tonny menjelaskan bahwa rasa asam pada kopi tak perlu
ditakuti. Mengapa? Karena kopi itu pada
dasarnya jenis buah, yang juga memiliki cita rasa asam pada buah lainnya
seperti mangga ataupun jeruk.
"Yang
membuat mulas dan lainnya karena minum kopi, justru karena biji kopinya kurang
matang," imbuh pak Tonny.
Saya sudah mencicipi
tiga jenis minuman kopi berkatagori papan atas di Barium Bar. Yakni hot black
coffee, esspreso, dan capucino. Luar biasa! Saya sungguh tidak menduga bahwa dalam diri
owner Hotel Platinum ini ternyata tersimpan nyala yang membara untuk
melestarikan kopi produk nusantara.
“Untuk kelas pemula
peminum kopi, hot black coffee lebih pas. Kopi Esspreso lebih kuat, cocok untuk
penikmat kopi,” kata pak Tonny.
Untuk menjaga
kualitas bahan baku kopinya, pak Tonny sampai blusukan menemui para petani kopi
di Kintamani dan Palu. Ia harus memastikan bahwa bahan baku kopinya berasal
dari buah kopi yang telah matang. “Kebetulan di Palu ada keluarga. Jadi saya
sering ke sana,” ujarnya.
Sajian kopi di
Barium Bar sebenarnya sudah ada sejak lama. Pada awalnya Barium Bar menggunakan
kopi produk Italia. Sudah dua bulan ini kopi Kintamani dan kopi Palu
menjadi pilihan.
Kongkow-kongkow
membicarakan kopi khas Hotel Platinum kemudian ditutup dengan unjuk kebolehan
Havi, barista Barium Bar. Coffemaker asal Kota Martapura, Kalimantan Selatan
ini pernah menyabet juara pertama pada kompetisi barista se Kaltim.
Kepiawaiannya dalam seni menggambar kopi latteart diperoleh secara autodidak.
“Hanya belajar dari youtube,” kata Havi yang sebelumnya menjadi barista di
sebuah café.
Saya
disuguhi capucino bergambar manusia Indian, sementara kopi Eddy Adha bergambar
burung merak. Sebelumnya, Havi pernah menyuguhkan capucino bergambar hati
bertuliskan HBD kepada Wakapolres Balikpapan Kompol Yolanda E. Sebayang saat
berulang tahun. Keep up the good works, pak Tonny. (*)