ads header

Friday, September 9, 2016

Pak Tonny dan Kopi Kintamani

0
CATATAN AJID KURNIAWAN

CUKUP lama saya tak bersua dengan pak Tonny Chandra. Sekira 10 tahun. Setelah hijrah ke Sampit selama delapan tahun dan kembali ke Balikpapan lebih kurang dua tahun ini, sudah dua kali saya bertemu dengannya.

Kali pertama jumpa kembali terjadi setahun lalu. Pagi itu, saat sarapan di Restoran Hotel Platinum ditemani pak Soegianto, Direktur Operasional Hotel Platinum, pak Tonny muncul belakangan.

Pak Tonny seorang pengingat yang baik. Ia masih mengingat saya. Pun sebaliknya. Saya tak mungkin lupa. Secara fisik pak Tonny tak banyak berubah. Kami bertipe  sama: konsisten menjaga body alias sulit berkembang.

Saya dan pak Tonny menyimpan cerita lama. Dulu, ketika memotret masih menggunakan kamera analog, seringkali saya harus menggedor Studio Foto Rajawali milik pak Tonny saat sudah tutup. Maklum, hasil cetak foto sangat diperlukan untuk penerbitan koran keesokan harinya. Gedoran dan telepon saya sudah pasti mengganggu jam istirahat pak Tonny. Ia tersenyum mendengar cerita itu. Belakangan saya menjadi tahu bahwa owner Hotel Platinum adalah pak Tonny.

Rabu, 7 September lalu,  saya bersama rekan sekantor Eddy Addha kembali kongkow-kongkow dengan pak Tonny. Pada pertemuan kali kedua ini, pak Tonny memperlihatkan sebuah kejutan. Membuka obrolan di Barium Bar Hotel Platinum, pak Tonny menawarkan minuman spesial: kopi Kintamani.

“Minum kopi sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Karena alasan itu, kopi juga kita sajikan di sini (Barium Bar, Red.),” ucap pak Tonny.

Bukan sekadar disuguhi kopi, pak Tonny juga mampu menjelaskan proses pembuatannya secara detil. Termasuk bagaimana cara menikmati kopi. Tampak sekali jika ia memahami seluk beluk dunia perkopian hingga pengolahannya.

Saya tak yakin kemampuan pak Tonny dalam meracik kopi didapat secara autodidak. Benar saja, rupanya ilmu itu ia dapatkan setelah berguru kepada punggawa kopi. “Saya sempat ambil short course selama tiga bulan di Bali,” ungkap pak Tonny.

Pantaslah apabila pak Tonny begitu piawai meracik kopi. Ilmunya kemudian ditularkan kepada barista Barium Bar. Jika kopi Kintamani dan kopi Palu menjadi pilihannya, pilihan itu semata-mata agar kopi sajian Barium Bar memiliki kekhasan.

Bagi pecinta kopi, karakteristik rasa kopi memang digilai untuk dinikmati sensasinya. Begitu juga rasa asam yang keluar pada jenis kopi tertentu. Kopi Kintamani asal Bali misalnya, sensasi rasa asam yang muncul justru menunjukkan kualitas kopi.

"Di asamnya kopi Kintamani itulah yang menjadi ciri khasnya, dan itu yang membuat harga kopi ini lebih mahal,” kata pak Tonny.

Menikmati kopi Kintamani olahan Barium Bar, sensasi rasa buah jeruk terkecap di lidah. Terasa segar di mulut. Lalu pak Tonny bicara tentang kopi Kintamani yang sangat dipahaminya. Tentang bahan-bahan spesial dan teknik pengolahannya hingga tersaji kopi Kintamani bercitarasa tinggi.

“Bagaimana rasanya?” tanya pak Tonny. Saya katakan apa yang dijelaskannya sama persis seperti yang terasa di lidah.

“Kopi Arabika Kintamani memang memiliki rasa dan aroma berbeda dibandingkan kopi jenis lainnya,” timpal pak Tonny.

Menurutnya kesegaran kopi dapat menghilang karena faktor waktu, udara, kelembaban, suhu panas dan cahaya, sehingga rasanya pun berubah. Oleh karena itu, diperlukan trik khusus agar kualitasnya tetap terjaga. Penggunaan air yang berkualitas juga memengaruhi rasa clan kopi yang maksimal.

Saya kembali bertanya tentang rasa asam yang dikhawatirkan berpengaruh terhadap lambung. Kepada kami, pak Tonny menjelaskan bahwa rasa asam pada kopi tak perlu ditakuti. Mengapa? Karena  kopi itu pada dasarnya jenis buah, yang juga memiliki cita rasa asam pada buah lainnya seperti mangga ataupun jeruk.

"Yang membuat mulas dan lainnya karena minum kopi, justru karena biji kopinya kurang matang," imbuh pak Tonny.

Saya sudah mencicipi tiga jenis minuman kopi berkatagori papan atas di Barium Bar. Yakni hot black coffee, esspreso, dan capucino. Luar biasa! Saya sungguh tidak menduga bahwa dalam diri owner Hotel Platinum ini ternyata tersimpan nyala yang membara untuk melestarikan kopi produk nusantara.

“Untuk kelas pemula peminum kopi, hot black coffee lebih pas. Kopi Esspreso lebih kuat, cocok untuk penikmat kopi,” kata pak Tonny.


Untuk menjaga kualitas bahan baku kopinya, pak Tonny sampai blusukan menemui para petani kopi di Kintamani dan Palu. Ia harus memastikan bahwa bahan baku kopinya berasal dari buah kopi yang telah matang. “Kebetulan di Palu ada keluarga. Jadi saya sering ke sana,” ujarnya.

Sajian kopi di Barium Bar sebenarnya sudah ada sejak lama. Pada awalnya Barium Bar menggunakan kopi produk Italia. Sudah dua bulan ini kopi Kintamani dan kopi Palu menjadi  pilihan.

Kongkow-kongkow membicarakan kopi khas Hotel Platinum kemudian ditutup dengan unjuk kebolehan Havi, barista Barium Bar. Coffemaker asal Kota Martapura, Kalimantan Selatan ini pernah menyabet juara pertama pada kompetisi barista se Kaltim. Kepiawaiannya dalam seni menggambar kopi latteart diperoleh secara autodidak. “Hanya belajar dari youtube,” kata Havi yang sebelumnya menjadi barista di sebuah café.

Saya disuguhi capucino bergambar manusia Indian, sementara kopi Eddy Adha bergambar burung merak. Sebelumnya, Havi pernah menyuguhkan capucino bergambar hati bertuliskan HBD kepada Wakapolres Balikpapan Kompol Yolanda E. Sebayang saat berulang tahun. Keep up the good works, pak Tonny. (*)



Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: