MEDIO Desember 2011, saya mengenal Priyambodo.
Pria berkumis itu sedang berbicara pada pertemuan Forum Pemimpin Redaksi Jawa
Pos Group di Hotel Novotel, Jakarta. Jabatannya Direktur Eksekutif Lembaga Pers
Dr Soetomo (LPDS).
Saya agak terlambat saat menghadiri sesi
Priyambodo. Ketika memasuki ruangan, dia sedang “diserang” kiri-kanan oleh peserta
diskusi. Mengapa wartawan harus diuji kompetensi? Bagaimana dengan perusahaan
pers? Apakah tidak mengekang kemerdekaan pers? Bagaimana wartawan yang sudah
bersertifikasi jika melakukan pelanggaran kode etik? Sanksinya apa? Itulah
berondongan pertanyaan yang diarahkan kepadanya.
Dari mulut wartawan LKBN Antara tersebut kemudian
meluncur histori yang melatarbelakangi
mengapa uji kompetensi wartawan (UKW) perlu dilakukan. Dari pertemuan itu pula
kemudian muncul kesepakatan antara LPDS dan Forum Pemred Jawa Pos Group untuk
menggelar UKW.
Selama dua hari ini (30-31 Januari 2012), di Hotel
Ibis Mangga Dua Jakarta, saya bersama 41 pemimpin redaksi dan 15 redaktur akhirnya
merasakan ketegangan yang sesungguhnya. Diuji kompetensinya. Ketegangan semakin
terlihat manakala beberapa penguji menyatakan tidak ada jaminan bahwa seluruh
peserta UKW akan lulus.
“Jika menghendaki lulus, tunjukkan kepemredan dan
keredakturan Anda. Jangan sakit gigi, jangan sakit tenggorokan, kemukakan
gagasan dan pandangan Anda,” kata Petrus Suryadi, salah seorang penguji.
Wina Armada Sukardi, anggota Dewan Pers memberikan
background usulan ratifikasi
(kesepakatan) perusahaan pers, yang salah satunya memuat ketentuan mengenai
sistem kompetensi wartawan. Usulan tersebut dilontarkan Ketua Serikat
Perusahaan Pers (SPS) Dahlan Iskan pada 15 Oktober 2008. Dari sepuluh
“kewajiban” perusahaan pers yang diusulkan Dahlan, salah satunya perusahaan
pers harus memiliki sistem evaluasi kompetensi.
“Saya pernah tanya ke pak Dahlan, bagaimana kalau
peserta dari Jawa Pos Group ada yang tidak lulus kompetensi. Beliau bilang
malah senang, karena bisa mengetahui siapa yang tidak kompeten,” cerita Wina.
Wina dan Priyambodo menjelaskan, standar
kompetensi wartawan menjadi bagian dari upaya sistematis dan terukur untuk
meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan. Dengan kata lain, standar
kompetensi wartawan menjadi sarana terbaik bagi wartawan untuk mengukur
kemampuan dan pengetahuannya, serta menegaskan posisi pentingnya di dalam
perusahaan pers.
Bagi perusahaan pers, standar kompetensi wartawan
menyediakan teori, indikator, dan perangkat yang dapat menjadi acuan serta
mempermudah kegiatan evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers.
Kemerdekaan pers telah memperlihatkan sejumlah
fakta. Penerbitan media muncul bak jamur di musim hujan. Siapapun boleh
mendirikan media. Sayangnya,
kondisi itu tidak dibarengi dengan kemampuan yang memadai untuk dapat melakoni
profesi sebagai wartawan. Mudahnya lembaga penerbitan media memberikan kartu identitas
sebagai wartawan tanpa kriteria kemampuan dan kinerja, turut menambah buruk
citra wartawan.
Bersyukurlah para tokoh nasional pers cepat
tanggap. Kompetensi wartawan yang menjadi deklarasi komunitas pers nasional
adalah aksi konkret. Sertifikasi wartawan dan perusahaan pers diharapkan dapat
meminimalisasi praktik penyalahgunaan profesi wartawan yang merugikan publik.
Seperti apa penilaian uji kompetensi wartawan?
LPDS merumuskan kompetensi wartawan pada tiga aspek dasar. Yakni, kesadaran
(awareness) yang mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan
jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi. Selanjutnya pengetahuan
(knowledge) yang mencakup teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum dan
pengetahuan khusus. Ketiga ketrampilan (skills) yang mencakup kegiatan 6 M
(mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi), riset/investigasi, analisis/prediksi, serta penggunaan alat dan
teknologi informasi.
Materi uji antara wartawan utama dan madya tentu
saja berbeda. Ujian bagi redaktur meliputi
perencanaan mengisi rubrik atau halaman yang diasuh, penilaian atas hasil
wawancara/liputan wartawannya, merencanakan liputan investigasi, menyunting
berita, menulis feature, dll, total jumlahnya sembilan.
Seorang wartawan utama misalnya, ia harus mampu memimpin
rapat, memberi pengarahan sesuai dengan kondisi perkembangan hari itu, menanggapi
usulan rencana liputan redaktur, dan tentu saja melakukan rapat yang efisien.
Bagi saya, UKW merupakan tantangan sekaligus
sebagai sarana untuk mengevaluasi kemampuan diri sendiri. Dan saya harus
mengakui banyak hal baru yang saya dapatkan dari kegiatan UKW. Saya
berkeyakinan apabila sebagian besar wartawan sudah profesional, maka setidaknya
keluhan masyarakat tentang pemberitaan yang tidak sesuai standar jurnalistik,
tidak sesuai dengan kode etik, akan berkurang. Mutu media juga mestinya akan
naik, sehingga berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa. Semoga.
(jid@radarsampit.com)