ads header

Saturday, September 10, 2016

Uji Kepemredan

0


MEDIO Desember 2011, saya mengenal Priyambodo. Pria berkumis itu sedang berbicara pada pertemuan Forum Pemimpin Redaksi Jawa Pos Group di Hotel Novotel, Jakarta. Jabatannya Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS). 

Saya agak terlambat saat menghadiri sesi Priyambodo. Ketika memasuki ruangan, dia sedang “diserang” kiri-kanan oleh peserta diskusi. Mengapa wartawan harus diuji kompetensi? Bagaimana dengan perusahaan pers? Apakah tidak mengekang kemerdekaan pers? Bagaimana wartawan yang sudah bersertifikasi jika melakukan pelanggaran kode etik? Sanksinya apa? Itulah berondongan pertanyaan yang diarahkan kepadanya. 

Dari mulut wartawan LKBN Antara tersebut kemudian meluncur  histori yang melatarbelakangi mengapa uji kompetensi wartawan (UKW) perlu dilakukan. Dari pertemuan itu pula kemudian muncul kesepakatan antara LPDS dan Forum Pemred Jawa Pos Group untuk menggelar UKW. 

Selama dua hari ini (30-31 Januari 2012), di Hotel Ibis Mangga Dua Jakarta, saya bersama 41 pemimpin redaksi dan 15 redaktur akhirnya merasakan ketegangan yang sesungguhnya. Diuji kompetensinya. Ketegangan semakin terlihat manakala beberapa penguji menyatakan tidak ada jaminan bahwa seluruh peserta UKW akan lulus.

“Jika menghendaki lulus, tunjukkan kepemredan dan keredakturan Anda. Jangan sakit gigi, jangan sakit tenggorokan, kemukakan gagasan dan pandangan Anda,” kata Petrus Suryadi, salah seorang penguji.

Wina Armada Sukardi, anggota Dewan Pers memberikan background usulan ratifikasi (kesepakatan) perusahaan pers, yang salah satunya memuat ketentuan mengenai sistem kompetensi wartawan. Usulan tersebut dilontarkan Ketua Serikat Perusahaan Pers (SPS) Dahlan Iskan pada 15 Oktober 2008. Dari sepuluh “kewajiban” perusahaan pers yang diusulkan Dahlan, salah satunya perusahaan pers harus memiliki sistem evaluasi kompetensi.

“Saya pernah tanya ke pak Dahlan, bagaimana kalau peserta dari Jawa Pos Group ada yang tidak lulus kompetensi. Beliau bilang malah senang, karena bisa mengetahui siapa yang tidak kompeten,” cerita Wina.

Wina dan Priyambodo menjelaskan, standar kompetensi wartawan menjadi bagian dari upaya sistematis dan terukur untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan. Dengan kata lain, standar kompetensi wartawan menjadi sarana terbaik bagi wartawan untuk mengukur kemampuan dan pengetahuannya, serta menegaskan posisi pentingnya di dalam perusahaan pers.

Bagi perusahaan pers, standar kompetensi wartawan menyediakan teori, indikator, dan perangkat yang dapat menjadi acuan serta mempermudah kegiatan evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers. 

Kemerdekaan pers telah memperlihatkan sejumlah fakta. Penerbitan media muncul bak jamur di musim hujan. Siapapun boleh mendirikan media.  Sayangnya, kondisi itu tidak dibarengi dengan kemampuan yang memadai untuk dapat melakoni profesi sebagai wartawan. Mudahnya lembaga penerbitan media memberikan kartu identitas sebagai wartawan tanpa kriteria kemampuan dan kinerja, turut menambah buruk citra wartawan.

Bersyukurlah para tokoh nasional pers cepat tanggap. Kompetensi wartawan yang menjadi deklarasi komunitas pers nasional adalah aksi konkret. Sertifikasi wartawan dan perusahaan pers diharapkan dapat meminimalisasi praktik penyalahgunaan profesi wartawan yang merugikan publik.

Seperti apa penilaian uji kompetensi wartawan? LPDS merumuskan kompetensi wartawan pada tiga aspek dasar. Yakni, kesadaran (awareness) yang mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi. Selanjutnya pengetahuan (knowledge) yang mencakup teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum dan pengetahuan khusus. Ketiga ketrampilan (skills) yang mencakup kegiatan 6 M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi), riset/investigasi, analisis/prediksi, serta penggunaan alat dan teknologi informasi.

Materi uji antara wartawan utama dan madya tentu saja berbeda.  Ujian bagi redaktur meliputi perencanaan mengisi rubrik atau halaman yang diasuh, penilaian atas hasil wawancara/liputan wartawannya, merencanakan liputan investigasi, menyunting berita, menulis feature, dll, total jumlahnya sembilan.

Seorang wartawan utama misalnya, ia harus mampu memimpin rapat, memberi pengarahan sesuai dengan kondisi perkembangan hari itu, menanggapi usulan rencana liputan redaktur, dan tentu saja melakukan rapat yang efisien.

Bagi saya, UKW merupakan tantangan sekaligus sebagai sarana untuk mengevaluasi kemampuan diri sendiri. Dan saya harus mengakui banyak hal baru yang saya dapatkan dari kegiatan UKW. Saya berkeyakinan apabila sebagian besar wartawan sudah profesional, maka setidaknya keluhan masyarakat tentang pemberitaan yang tidak sesuai standar jurnalistik, tidak sesuai dengan kode etik, akan berkurang. Mutu media juga mestinya akan naik, sehingga berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa. Semoga. (jid@radarsampit.com)
Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: