
Pariwisata dengan menjual kultur budaya telah menjadi industri yang menggerakan ekonomi Kota Bangkok. Sayang, tak banyak kawasan wisata yang bisa saya kunjungi saat menghadiri kongres WAN-IFRA (World Association of Newspaper and News Publishers) selama empat hari itu. Obrolan dengan beberapa delegasi tuan rumah, mereka merekomendasikan banyak tempat di Kota Bangkok yang laik untuk dikunjungi.
Sebut saja Chatuchak Market. Kawasan komersial ini selalu ramai dikunjungi penduduk lokal dan wisatawan saat akhir pekan. Beragam produk kerajinan, kuliner, dekorasi rumah, buku, dan pakaian khas Thailand bisa didapatkan di sini.
Jika ingin berburu bunga, buah-buahan atau sayuran, Pak Khlong Talat Flower Market-lah yang direkomendasikan. Di Pak Khlong Talat, beragam bunga potong segar dan bunga rangkai, serta buah-buahan dan sayuran segar diperjualbelikan. Bunga memang tak bisa dilepaskan dan telah menjadi kultur masyarakat Thailand. Begitu banyak pedagang asongan di jalan-jalan yang menawarkan sejuntai bunga.
Untuk membawa buah tangan dengan harga miring, kawan dari Bangkok merekomendasikan Khao San Road, kawasan wisata yang letaknya dekat Sungai Chao Phraya. Tidak hanya memiliki pusat jajanan pinggir jalan yang menjual bermacam pernak-pernik dan makanan murah, di jalan ini kita bisa melihat warga Thailand menjalani ibadah spiritual mereka.
Komunitas etnis penduduk Kota Bangkok tak luput dari perhatian pemerintahnya untuk tujuan wisata. Populasi komunitas etnis India, Arab, dan China memang cukup besar di Kota Bangkok. Bangkok memiliki beberapa pecinan, seperti Sampaeng Lane, Yaowarat, Charoen Krung dan Trok Issarnuphap. Namun, pecinan dengan dagangan terbaik adalah di Trok Issaranuphap. Jalan ini memiliki sebuah kuil China bernama Mangkon Kamalawat, dan tersambung ke sebuah pasar tradsional yang menjual berbagai penganan-penganan Chinese Food.
Atmofer komunitas “Little India” bisa dijumpai di kawasan Phahurat. Sebuah distrik komersial yang menjual beragam produk kulit, garmen, dan aksesori India. Sementara komunitas bangsa Arab yang tinggal di Kota Bangkok berkumpul di Arab Street. Jalan yang juga disebut sebagai Sumkhumvit Soi ini juga terkenal dengan masakan khas Timur Tengahnya yang sedap. Dagangan-dagangan khas timur tengah seperti shisha, siwak, henna, dan banyak lagi bisa dijumpai di kawasan ini.
Banyak kuliner sedap di seluruh penjuru Bangkok, namun yang paling terkenal kelezatannya adalah restoran-restoran yang terletak di Nakhon Chaisi Road. Dengan pemandangan yang hijau dan sejuk karena dihiasi pohon-pohon rimbun, jalanan ini merupakan pusat jajanan yang terkenal di kalangan backpacker. Jika ingin mengetahui lebih detail produk-produk pertanian dan perkebunan Thailand, datangi saja Thonburi Market yang terletak di Taweewattana Road.
Hari terakhir kongres WAN-IFRA, paket suguhan budaya Thailand kembali kami nikmati di acara “Thai Folk Night”. Seluruh delegasi kongres dari 70 negara dibawa ke Sampran Riverside menggunakan puluhan bus. Sampran Riverside merupakan sebuah kawasan tertutup yang menjual wisata dalam kemasan eco-cultural. Didirikan sejak 1962, komplek ini dilengkapi fasilitas hotel berbintang empat, beberapa guest house berarsitektur tradisional Thailand, toko-toko souvenir, dan auditorium pertunjukkan seni. Sebuah danau buatan melengkapi komplek Sampran Riverside.
Terletak di Km 32 Pet Kasem Road, waktu tempuh Sampran Riverside dari Kota Bangkok sekitar satu jam menggunakan kendaraan. Setibanya di lokasi acara, puluhan dara-dara cantik Thailand menyambut kedatangan para delegasi dengan mengalungkan bunga. Tiga ekor gajah turut ambil bagian menyambut para delegasi. Beragam kuliner tradisional Thailand, Western Food, Chinese Food, Japanese Food, Barbeque, hingga menu vegetarian dan buah-buahan segar menjadi menu santap malam kami. Racikan menu dan cara mengolahnya diperlihatkan langsung. Kami pun diperbolehkan meracik dan mengolahnya sendiri.
Sebagai destinasi eco-cultural, Sampran Riverside merupakan paket miniatur budaya masyarakat pedesaan Thailand. Mengelilingi komplek Sampran Riverside, pengunjung diperlihatkan cara pembuatan sutera, lukisan payung, musik dan tarian tradisional, pengolahan beras, industri rumahan obat herbal, pengolahan tembikar, dan beragam industri kreatif khas Thailand. Tidak ketinggalan, demonstrasi Thai Boxing.
Setelah puas menyantap hidangan dan berinteraksi dengan para pengrajin, pentas seni menyuguhkan Thai Boxing, tarian klasik dan tradisional, tarian bambu, hingga tarian bendera yang membawa bendera para peserta kongres kembali kami nikmati. Menghanyutkan lilin di danau oleh seluruh delegasi kongres yang terkemas dalam Loy Krathong Festival menutup acara Thai Folk Night.
Catatan saya, konsep wisata eco-cultural dalam suatu kawasan yang diperlihatkan Sampran Riverside telah banyak diadopsi oleh beberapa daerah di Indonesia. Di Kalimantan Timur, misalnya, juga terdapat kampung budaya yang terintegrasi dalam satu kawasan. Sayangnya, pengelolaannya tidak dilakukan secara profesional. Kini, kampung budaya itu telah mati. Bagi Kalimantan Tengah, konsep ecocultural dalam satu kawasan sangat mungkin untuk diadopsi, khususnya oleh Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) sebagai destinasi utama wisata di Kalimantan Tengah. Asalkan ada kemauan dan dikelola oleh tangan-tangan profesional, yakinlah wisata eco-cultural akan memberikan multiflier effect terhadap masyarakat Kobar. (*)