Tiga warga Desa
Lomu, Kecamatan Batu Engau, Kabupaten Paser dipenjara gara-gara mempertahankan
lahan milik mereka. Satu di antara mereka meninggal di penjara.
LATIS, tokoh
adat Desa Lomu masih mengingat kejadian pada awal 1990. Desa nan permai yang
dihuni sekitar 60 kepala keluarga itu tak lagi menyimpan kedamaian. Masa itu,
warga desa umumnya bekerja di ladang dan
memungut hasil hutan berupa rotan. Setiap KK rata-rata memiliki lahan garapan sekira
2-3 hektare.
Suasana tentram
dan damai mendadak terusik. Masuknya perusahaan BUMN yang membuka Hutan Tanaman
Industri (HTI) di desa mereka menjadi pemicunya. Awalnya penduduk desa tidak mempersoalkan
masuknya investasi perusahaan di bidang perkayuan tersebut. Sesuai perizinan
yang dikeluarkan dan diketahui oleh warga desa, areal HTI tidak termasuk di
dalamnya Desa Lomu dan Desa Riwang. Kenyataan bahwa kegiatan HTI masuk ke dalam
desa mereka membuat warga murka. Suatu siang pada awal masa reformasi, mereka
memprotes untuk mempertahankan haknya.
Namun aksi
protes itu justru berbuntut pada pemenjaraan warga. Tiga warga desa yakni Luye,
Tolu, dan Lingoe harus meringkuk di balik jeruji besi. “Yang meninggal di dalam
penjara pak Luye,” sebutnya.
Beberapa
sosialisasi pernah dilakukan oleh pihak HTI/Inhutani II dalam rangka
menggandeng masyarakat. Salah satunya dengan penanaman karet. Hanya saja tawaran
tersebut ditolak oleh warga desa dengan alasan
tanaman karet rawan api. Masyarakat lebih memilih berkebun kelapa sawit.
Bukan sekali dua
kali warga desa memprotes penyerobotan lahan oleh HTI. Sempat terjadi
perjanjian antara warga desa dengan manager HTI dengan membuat tanda batas
bersama. Saat itu, makam leluhur menjadi penanda wilayah desa. Sempat pula
terlontar janji dari perusahaan apabila pihak perusahaan tidak mampu membayar
ganti rugi, akan dikembalikan ke warga desa.
“Sampai
sekarang, janji itu hanya sekadar janji tanpa bukti. Ini yang membuat warga
desa kecewa,” ujar Latis.
Yasin, Kepala Desa
Lomu mengatakan masyarakat memiliki
legalitas hak atas tanah berupa surat yang dikeluarkan pada 1995. Surat
tersebut sebenarnya berlaku di Desa Kerang, namun masyarakat menganggap bahwa surat
itu berlaku untuk semua desa. Selain itu, juga ada SK 554 untuk wilayah hutan
kemasyarakatan.
“Kami berharap
antara Inhutani II dan masyarakat bisa duduk bersama. Permasalahan-permasalahan
dapat diselesaikan dari tingkat paling dasar dulu yakni secara adat. Desa Lomu
terkenal dengan kekentalan adatnya,” ujarnya kepada Jaringan Kawan Masyarakat Adat.
Yasin menengarai
ada indikasi kecemburuan terkait program CSR Inhutani yang dianggap tidak
sesuai harapan masyarakat dibandingkan dengan kontribusi CSR dari PT AIKA,
perusahaan kelapa sawit yang juga beroperasi di desa mereka.
“Sebagian besar warga
bekerja di PT AIKA, hanya 3 orang saja yang bekerja di Inhutani,” sebut Yasin
seraya menjelaskan saat ini desa yang dipimpinnya berjumlah 217 KK atau 780
jiwa.
Nasib warga Desa
Riwang nyaris serupa dengan warga Desa Limo. Telah ada sejak zaman penjajahan
Belanda, pada tahun 1970-an Desa Riwang mulai dibentuk wilayah pemukiman. Saat
HTI masuk pada tahun 90-an, warga Desa Riwang menyambutnya dengan penuh
harapan. Adanya HTI diharapkan bisa membuat desa mereka menjadi maju. Mereka
beranggapan HTI akan ditanam pada lahan kritis melalui program reboisasi.
Awal HTI masuk, peta
yang diperlihatkan pihak perusahaan, wilayah Riwang tidak termasuk areal HTI. Hanya
Desa Lomu saja. “Pada kenyataannya kontraktor atau pemborongnya sudah melampaui
batas wilayah adat,” kata Riisno, Kepala Desa Riwang.
“Keinginan masyarakat
adalah agar hak–hak masyarakat dikembalikan atau minimal diajak berdiskusi,”
imbuhnya dibenarkan Lego, tokoh adat dan mantan sekdes serta Osei, mantan
kades.
Tak hanya di
desa Lomu dan Riwang, konflik lahan antara Inhutani II dengan warga juga
terjadi di Desa Kerang. Tarik, tokoh adat Desa Kerang memahami benar histori
desanya. Pada zaman dulu, cerita Tarik, Kerajaan Cengal berada di kawasan
Rurai. Warga Kerajaan Cengal kemudian menyusuri sungai dan terjadi percampuran
antara Kerang, Dayak dan Paser.
“Menurut
silsilah kerajaan, kawasan Kalsel ini masih keturunan Raja Paser. Wilayah Kalsel
umumnya dihuni suku Banjar, Bugis, Dayak, sedangkan Kerang Dayo suku Banjar dan Dayak,” ujarnya.
Pemekaran
wilayah Paser pada 1987 dan penentuan batas Kalsel-Kaltim dibatasi oleh Sungai
Kerang (Belengkong–Pamukan). “Dulu, aktivitas masyarakat adalah berkebun rotan,
kopi dan dipasarkan ke Kotabaru,” kata Tarik.
Pada beberapa
wilayah, Tarik menyebutkan adanya kelompok-kelompok pemilik lahan. Di
Kerangdayo dikuasai oleh Tubadut, Siti, dan Rawas; wilayah Sungai Balu: Said; wilayah
Rurai: Tarik; wilayah Batu Engau: Tamal; dan wilayah Mengkudu: Jahalin.
“Janji manajer
Inhutani dulu adalah apabila masyarakat dapat mengurus klaim-klaim masyarakat
ke pusat sendiri, Inhutani siap melepas kawasan,” ungkap Tarik.
Juanda, tokoh
masyarakat Desa Kerang menambahkan, perlawanan masyarakat melawan HTI dimulai
sejak tahun 1994 – 1995 dengan munculnya SKT, di mana tahun 1996 muncuat tuntutan
luasan kawasan konservasi dipertahankan 30 persen.
Sengketa HTI
sudah disampaikan melalui tim penanganan konflik tenurial (SK No.5/2015). Menurut
masyarakat, banyak terjadi kebakaran di Inhutani dan sebagian besar yang
ditanam hanyalah bagian depan saja. Sekitar 2800 Ha telah dibebaskan dari HTI
dan muncul perusahaan kelapa sawit berbendera CV Khatulistiwa.
Luas areal HTI
awalnya 63.000 Ha kemudian berkurang menjadi 16.000 Ha dan hanya 6000 Ha saja
yang dikelola. Kebakaran besar yang terjadi pada 1996–1997 membuat hasil madu
masyarakat menjadi hitam. (jid)