ads header

Sunday, July 3, 2016

Mereka Tergusur dari Kampungnya

0

Tiga warga Desa Lomu, Kecamatan Batu Engau, Kabupaten Paser dipenjara gara-gara mempertahankan lahan milik mereka. Satu di antara mereka meninggal di penjara.

LATIS, tokoh adat Desa Lomu masih mengingat kejadian pada awal 1990. Desa nan permai yang dihuni sekitar 60 kepala keluarga itu tak lagi menyimpan kedamaian. Masa itu, warga desa  umumnya bekerja di ladang dan memungut hasil hutan berupa rotan. Setiap KK rata-rata memiliki lahan garapan sekira 2-3 hektare.
Suasana tentram dan damai mendadak terusik. Masuknya perusahaan BUMN yang membuka Hutan Tanaman Industri (HTI) di desa mereka menjadi pemicunya. Awalnya penduduk desa tidak mempersoalkan masuknya investasi perusahaan di bidang perkayuan tersebut. Sesuai perizinan yang dikeluarkan dan diketahui oleh warga desa, areal HTI tidak termasuk di dalamnya Desa Lomu dan Desa Riwang. Kenyataan bahwa kegiatan HTI masuk ke dalam desa mereka membuat warga murka. Suatu siang pada awal masa reformasi, mereka memprotes untuk mempertahankan haknya.
Namun aksi protes itu justru berbuntut pada pemenjaraan warga. Tiga warga desa yakni Luye, Tolu, dan Lingoe harus meringkuk di balik jeruji besi. “Yang meninggal di dalam penjara pak Luye,” sebutnya.
Beberapa sosialisasi pernah dilakukan oleh pihak HTI/Inhutani II dalam rangka menggandeng masyarakat. Salah satunya dengan penanaman karet. Hanya saja tawaran tersebut ditolak oleh warga desa  dengan alasan tanaman karet rawan api. Masyarakat lebih memilih berkebun kelapa sawit.
Bukan sekali dua kali warga desa memprotes penyerobotan lahan oleh HTI. Sempat terjadi perjanjian antara warga desa dengan manager HTI dengan membuat tanda batas bersama. Saat itu,  makam leluhur  menjadi penanda wilayah desa. Sempat pula terlontar janji dari perusahaan apabila pihak perusahaan tidak mampu membayar ganti rugi, akan dikembalikan ke warga desa.
“Sampai sekarang, janji itu hanya sekadar janji tanpa bukti. Ini yang membuat warga desa kecewa,” ujar Latis.
Yasin, Kepala Desa Lomu mengatakan  masyarakat memiliki legalitas hak atas tanah berupa surat yang dikeluarkan pada 1995. Surat tersebut sebenarnya berlaku di Desa Kerang, namun masyarakat menganggap bahwa surat itu berlaku untuk semua desa. Selain itu, juga ada SK 554 untuk wilayah hutan kemasyarakatan.
“Kami berharap antara Inhutani II dan masyarakat bisa duduk bersama. Permasalahan-permasalahan dapat diselesaikan dari tingkat paling dasar dulu yakni secara adat. Desa Lomu terkenal dengan kekentalan adatnya,” ujarnya  kepada Jaringan Kawan Masyarakat Adat.
Yasin menengarai ada indikasi kecemburuan terkait program CSR Inhutani yang dianggap tidak sesuai harapan masyarakat dibandingkan dengan kontribusi CSR dari PT AIKA, perusahaan kelapa sawit yang juga beroperasi di desa mereka.
“Sebagian besar warga bekerja di PT AIKA, hanya 3 orang saja yang bekerja di Inhutani,” sebut Yasin seraya menjelaskan saat ini desa yang dipimpinnya berjumlah 217 KK atau 780 jiwa.
Nasib warga Desa Riwang nyaris serupa dengan warga Desa Limo. Telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, pada tahun 1970-an Desa Riwang mulai dibentuk wilayah pemukiman. Saat HTI masuk pada tahun 90-an, warga Desa Riwang menyambutnya dengan penuh harapan. Adanya HTI diharapkan bisa membuat desa mereka menjadi maju. Mereka beranggapan HTI akan ditanam pada lahan kritis melalui program reboisasi.
Awal HTI masuk, peta yang diperlihatkan pihak perusahaan, wilayah Riwang tidak termasuk areal HTI. Hanya Desa Lomu saja. “Pada kenyataannya kontraktor atau pemborongnya sudah melampaui batas wilayah adat,” kata Riisno, Kepala Desa Riwang.
“Keinginan masyarakat adalah agar hak–hak masyarakat dikembalikan atau minimal diajak berdiskusi,” imbuhnya dibenarkan Lego, tokoh adat dan mantan sekdes serta Osei, mantan kades.
Tak hanya di desa Lomu dan Riwang, konflik lahan antara Inhutani II dengan warga juga terjadi di Desa Kerang. Tarik, tokoh adat Desa Kerang memahami benar histori desanya. Pada zaman dulu, cerita Tarik, Kerajaan Cengal berada di kawasan Rurai. Warga Kerajaan Cengal kemudian menyusuri sungai dan terjadi percampuran antara Kerang, Dayak dan Paser.
“Menurut silsilah kerajaan, kawasan Kalsel ini masih keturunan Raja Paser. Wilayah Kalsel umumnya dihuni suku Banjar, Bugis, Dayak, sedangkan  Kerang Dayo suku Banjar dan Dayak,” ujarnya.
Pemekaran wilayah Paser pada 1987 dan penentuan batas Kalsel-Kaltim dibatasi oleh Sungai Kerang (Belengkong–Pamukan). “Dulu, aktivitas masyarakat adalah berkebun rotan, kopi dan dipasarkan ke Kotabaru,” kata Tarik.
Pada beberapa wilayah, Tarik menyebutkan adanya kelompok-kelompok pemilik lahan. Di Kerangdayo dikuasai oleh Tubadut, Siti, dan Rawas; wilayah Sungai Balu: Said; wilayah Rurai: Tarik; wilayah Batu Engau: Tamal; dan wilayah Mengkudu: Jahalin.
“Janji manajer Inhutani dulu adalah apabila masyarakat dapat mengurus klaim-klaim masyarakat ke pusat sendiri, Inhutani siap melepas kawasan,” ungkap Tarik.
Juanda, tokoh masyarakat Desa Kerang menambahkan, perlawanan masyarakat melawan HTI dimulai sejak tahun 1994 – 1995 dengan munculnya SKT, di mana tahun 1996 muncuat tuntutan luasan kawasan konservasi dipertahankan 30 persen.
Sengketa HTI sudah disampaikan melalui tim penanganan konflik tenurial (SK No.5/2015). Menurut masyarakat, banyak terjadi kebakaran di Inhutani dan sebagian besar yang ditanam hanyalah bagian depan saja. Sekitar 2800 Ha telah dibebaskan dari HTI dan muncul perusahaan kelapa sawit berbendera CV Khatulistiwa.
Luas areal HTI awalnya 63.000 Ha kemudian berkurang menjadi 16.000 Ha dan hanya 6000 Ha saja yang dikelola. Kebakaran besar yang terjadi pada 1996–1997 membuat hasil madu masyarakat menjadi hitam. (jid)


Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: