ads header

Saturday, April 30, 2016

Siasat Bertahan Raksasa Emas Hitam

0

Kelebihan pasokan batu bara di pasar dunia  mendorong harga emas hitam turun secara dramatis dan memaksa perusahaan-perusahaan  di Kalimantan Timur memangkas produksi. Tak sedikit yang menghentikan produksi dan merumahkan karyawan.

NASI bungkus dengan pilihan lauk ayam panggang, ikan bakar, dan ikan goreng serta lalapan menjadi menu santap siang di kantor External Relations Kaltim Prima Coal (KPC), Sangatta, dua pekan lalu.

Siang itu, sekira pukul 13.00 Wita, Superintendent Public Communication KPC Yordhen Ampung baru saja selesai rapat. Bersama karyawan lainnya dari divisi External Relations, mereka mendiskusikan program corporate social responsilibity (CSR) perusahaan berupa bantuan ternak sapi. Yordhen yang didampingi  Supervisor Media Silvester Pantur menahan saya untuk santap siang nasi bungkus sebelum meninggalkan kantor usai bersilaturahmi.  

Seperti halnya perusahaan-perusahaan batu bara lain yang berupaya mencari siasat untuk mengakali penurunan harga komoditas, KPC juga melakukan hal yang sama. Efisiensi dengan memangkas biaya operasional menjadi pilihan untuk tetap bertahan.
“Efisiensi luar biasa dilakukan di KPC. Biasa beroperasi dengan harga batu bara US$ 90 per ton, sekarang diturunkan. Kita tidak menyerah pada keadaan. Harus berjuang sampai benar-benar roboh,” ucap Yordhen.
Efisiensi pada semua lini operasional itu terbukti efektif. KPC tak sampai melakukan tindakan ekstrem merumahkan karyawan seperti yang dilakukan perusahaan-perusahaan lain. Tetap merawat pasar dan memasuki pasar yang ditinggalkan kompetitor menjadi strategi lain perusahaan raksasa emas hitam yang beroperasi di Kabupaten Kutai Timur itu.
“KPC sudah punya nama dan sudah memiliki pasar. Itu akan tetap kita pelihara,” ujar Yordhen.
Manajemen KPC menganalisis penurunan permintaan batu bara di pasar global hanyalah sebuah jeda yang membayangi pasar komoditas yang terjadi setiap beberapa tahun. Kelebihan pasokan batu bara global mendorong harga turun secara dramatis dan memaksa perusahaan-perusahaan untuk memangkas produksi.
“Kejenuhan pasar ini sedang berjalan. Booming batu bara sejak 2012 dampaknya masih terasa sampai sekarang. Batu bara dunia masih banjir,” kata Yordhen.

Oleh karena itu, jelas Yordhen, strategi merawat pasar dan memasuki pasar yang ditinggalkan kompetitor menjadi sangat penting. Jika hal tersebut tidak dilakukan, pasar yang ditinggalkan akan dimasuki perusahaan-perusahaan batu bara asal Australia dan Afrika Selatan. Perusahaan batu bara pada dua negara tersebut mampu memproduksi batu bara dengan harga sangat murah.

“Yang menguntungkan KPC adalah transportasi yang relatif dekat. Biaya angkut dari lokasi ke kapal hanya US$ 0,8 per ton. Berbeda dengan perusahaan lain di Kaltim yang harus melewati beberapa kabupaten,” kata Yordhen.

Kekhawatiran pasar dunia  akan dimasuki oleh perusahaan batu bara dari Australia dan Afrika Selatan menjadi pertimbangan bagi KPC untuk tidak menurunkan kapasitas produksinya.

Mengutip laman minerba, KPC mengekspor batu bara ke enam negara di dunia. Pertama adalah India dengan jumlah penjualan 495.820 ton, kemudian disusul Hong Kong sebesar 113.331 ton, dan China 99.999 ton. Negara tujuan keempat terbesar adalah Italia sebesar 65.917 ton, Jepang 63.521 ton, dan Pakistan 20.000 ton. “Ketika harga batu bara kembali naik, KPC telah memiliki pasar,” ujar Yordhen.

Yordhen membenarkan bahwa permintaan batu bara dari negara-negara yang menjadi tujuan ekspor KPC mengalami penurunan. Pelemahan ekonomi China dan pasca-tsunami yang melanda Jepang berefek pada penurunan permintaan. Tak hanya itu, kompetisi sengit perdagangan batu bara di pasar dunia turut memberi andil.

“Jepang pasca-tsunami banyak pabrik yang tutup beroperasi. Juga ada produksi batu bara yang sangat murah dari Australia dan Afrika Selatan,” ujar Yordhen.

Ia tak menampik bahwa bayang-bayang suram masa depan komoditas batu bara masih menghantui. Kekhawatiran akan polusi, dan persaingan dengan bahan bakar yang lebih bersih membuat negara-negara di dunia perlahan-lahan menyingkir dari batu bara. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim telah menyepakati pembatasan penggunaan sumber energi berbahan fosil.

“Kesepakatan KTT Perubahan Iklim akan membuat masa depan komoditas batu bara semakin terpuruk. China bahkan telah menyepakati untuk mengurangi pemakaian batu bara,” papar Yordhen.

Penurunan konsumsi batu bara sebagai dampak kesepakatan global ini tentu mengancam Kaltim sebagai produsen batu bara. Sebab 90 persen produksi batu bara Kaltim terserap di pasar ekspor. Serapan kebutuhan domestik sangat kecil. Sebangun dengan produsen batu bara lainnya, KPC juga berharap adanya peningkatan kebutuhan batu bara dari proyek-proyek pembangkit listrik milik pemerintah.

Yang menarik, data dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), KPC mengusulkan peningkatan produksi batu bara di tahun 2016. KPC mengajukan usulan peningkatan produksi sekitar 9 persen dari tahun 2015 sekitar 56,9 juta ton menjadi 62 juta ton.

Menurut Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM, Adhi Wibowo, dua PKP2B itu sudah mengajukan perubahan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) 2015. Perubahan yang diajukan itu terkait dengan peningkatan kapasitas produksi seiring dengan investasi infrastruktur pertambangan KPC.
Kami akan setujui usulan revisi RKAB mereka jika peningkatan produksi diperuntukan bagi kebutuhan dalam negeri," kata Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Adhi Wibowo.
Untuk diketahui, luas wilayah konsesi KPC mencapai 90.938 hektare. Pengiriman batu bara ke para pelanggan telah meningkat dari 7 juta ton pada tahun 1992 menjadi 53,2 juta ton pada tahun 2013. Operasi pertambangan KPC sepenuhnya teringrasi dan berdikari. Kepemilikan saham KPC masih didominasi Grup Bakrie melalui PT Bumi Resources Tbk.
“Kebijakan jaminan reklamasi yang harus dibayar di depan juga menjadi persoalan tersendiri. Perusahaan batu bara yang masih beroperasi sekarang adalah perusahaan yang memiliki finansial kuat,” kata Yordhen.

Kabar yang menggembirakan, Harga Batu Bara Acuan (HBA) kembali naik tipis pada April 2016. HBA April 2016 tercatat senilai US$ 52,32 per ton atau naik 1,36% dibandingkan dengan HBA bulan lalu senilai US$ 51,62. Adapun HBA Februari 2016 ditetapkan senilai US$ 50,92 per ton.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, kenaikan HBA pada bulan ini belum sepenuhnya menandakan bahwa pasar komoditi emas hitam tersebut sudah pulih. "Naik, tapi selisihnya enggak banyak. Masih temporer lah," katanya.

Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menilai kenaikan harga tersebut cukup positif. Hal itu pun terlihat dari menguatnya beberapa saham emiten batu bara di bursa sejak akhir kuartal I/2016.

"Namun, terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa tren penurunan harga sudah berakhir," katanya.
Dia menyatakan, harga masih berpotensi turun kembali karena kondisi pasar global masih oversupply. Apalagi pertumbuhan kebutuhan domestik masih lambat.
AJID KURNIAWAN


Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: