Kelebihan
pasokan batu bara di pasar dunia
mendorong harga emas hitam turun secara dramatis dan memaksa
perusahaan-perusahaan di Kalimantan
Timur memangkas produksi. Tak sedikit yang menghentikan produksi dan merumahkan
karyawan.
NASI bungkus dengan
pilihan lauk ayam panggang, ikan bakar, dan ikan goreng serta lalapan menjadi
menu santap siang di kantor External Relations Kaltim Prima Coal (KPC),
Sangatta, dua pekan lalu.
Siang itu,
sekira pukul 13.00 Wita, Superintendent Public Communication KPC Yordhen Ampung
baru saja selesai rapat. Bersama karyawan lainnya dari divisi External Relations,
mereka mendiskusikan program corporate
social responsilibity (CSR) perusahaan berupa bantuan ternak sapi. Yordhen
yang didampingi Supervisor Media
Silvester Pantur menahan saya untuk santap siang nasi bungkus sebelum meninggalkan kantor usai bersilaturahmi.
Seperti
halnya perusahaan-perusahaan batu bara lain yang berupaya mencari siasat untuk
mengakali penurunan harga komoditas, KPC juga melakukan hal yang sama. Efisiensi
dengan memangkas biaya operasional menjadi pilihan untuk tetap bertahan.
“Efisiensi
luar biasa dilakukan di KPC. Biasa beroperasi dengan harga batu bara US$ 90 per
ton, sekarang diturunkan. Kita tidak menyerah pada keadaan. Harus berjuang
sampai benar-benar roboh,” ucap Yordhen.
Efisiensi
pada semua lini operasional itu terbukti efektif. KPC tak sampai melakukan
tindakan ekstrem merumahkan karyawan seperti yang dilakukan
perusahaan-perusahaan lain. Tetap merawat pasar dan memasuki pasar yang
ditinggalkan kompetitor menjadi strategi lain perusahaan raksasa emas hitam
yang beroperasi di Kabupaten Kutai Timur itu.
“KPC sudah
punya nama dan sudah memiliki pasar. Itu akan tetap kita pelihara,” ujar
Yordhen.
Manajemen KPC
menganalisis penurunan permintaan batu bara di pasar global hanyalah sebuah
jeda yang membayangi pasar komoditas yang terjadi setiap beberapa tahun. Kelebihan
pasokan batu bara global mendorong harga turun secara dramatis dan memaksa
perusahaan-perusahaan untuk memangkas produksi.
“Kejenuhan pasar
ini sedang berjalan. Booming batu bara
sejak 2012 dampaknya masih terasa sampai sekarang. Batu bara dunia masih banjir,”
kata Yordhen.
Oleh karena itu,
jelas Yordhen, strategi merawat pasar dan memasuki pasar yang ditinggalkan
kompetitor menjadi sangat penting. Jika hal tersebut tidak dilakukan, pasar
yang ditinggalkan akan dimasuki perusahaan-perusahaan batu bara asal Australia
dan Afrika Selatan. Perusahaan batu bara pada dua negara tersebut mampu
memproduksi batu bara dengan harga sangat murah.
“Yang
menguntungkan KPC adalah transportasi yang relatif dekat. Biaya angkut dari
lokasi ke kapal hanya US$ 0,8 per ton. Berbeda dengan perusahaan lain di Kaltim
yang harus melewati beberapa kabupaten,” kata Yordhen.
Kekhawatiran
pasar dunia akan dimasuki oleh
perusahaan batu bara dari Australia dan Afrika Selatan menjadi pertimbangan
bagi KPC untuk tidak menurunkan kapasitas produksinya.
Mengutip laman
minerba, KPC mengekspor batu bara ke enam negara di dunia. Pertama adalah India
dengan jumlah penjualan 495.820 ton, kemudian disusul Hong Kong sebesar 113.331
ton, dan China 99.999 ton. Negara tujuan keempat terbesar adalah Italia sebesar
65.917 ton, Jepang 63.521 ton, dan Pakistan 20.000 ton. “Ketika harga
batu bara kembali naik, KPC telah memiliki pasar,” ujar Yordhen.
Yordhen
membenarkan bahwa permintaan batu bara dari negara-negara yang menjadi tujuan
ekspor KPC mengalami penurunan. Pelemahan ekonomi China dan pasca-tsunami yang
melanda Jepang berefek pada penurunan permintaan. Tak hanya itu, kompetisi
sengit perdagangan batu bara di pasar dunia turut memberi andil.
“Jepang
pasca-tsunami banyak pabrik yang tutup beroperasi. Juga ada produksi batu bara
yang sangat murah dari Australia dan Afrika Selatan,” ujar Yordhen.
Ia tak menampik bahwa
bayang-bayang suram masa depan komoditas batu bara masih menghantui. Kekhawatiran
akan polusi, dan persaingan dengan bahan bakar yang lebih bersih membuat
negara-negara di dunia perlahan-lahan menyingkir dari batu bara. Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim telah menyepakati pembatasan penggunaan
sumber energi berbahan fosil.
“Kesepakatan KTT
Perubahan Iklim akan membuat masa depan komoditas batu bara semakin terpuruk.
China bahkan telah menyepakati untuk mengurangi pemakaian batu bara,” papar
Yordhen.
Penurunan
konsumsi batu bara sebagai dampak kesepakatan global ini tentu mengancam Kaltim
sebagai produsen batu bara. Sebab 90 persen produksi batu bara Kaltim terserap
di pasar ekspor. Serapan kebutuhan domestik sangat kecil. Sebangun dengan
produsen batu bara lainnya, KPC juga berharap adanya peningkatan kebutuhan batu
bara dari proyek-proyek pembangkit listrik milik pemerintah.
Yang menarik, data dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), KPC mengusulkan peningkatan produksi
batu bara di tahun 2016. KPC mengajukan usulan peningkatan produksi sekitar 9
persen dari tahun 2015 sekitar 56,9 juta ton menjadi 62 juta ton.
Menurut
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM, Adhi Wibowo, dua
PKP2B itu sudah mengajukan perubahan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB)
2015. Perubahan yang diajukan itu terkait dengan peningkatan kapasitas produksi
seiring dengan investasi infrastruktur pertambangan KPC.
Kami
akan setujui usulan revisi RKAB mereka jika peningkatan produksi diperuntukan
bagi kebutuhan dalam negeri," kata Direktur Pembinaan dan Pengusahaan
Batubara Kementerian ESDM Adhi Wibowo.
Untuk
diketahui, luas wilayah konsesi KPC mencapai 90.938 hektare. Pengiriman batu bara
ke para pelanggan telah meningkat dari 7 juta ton pada tahun 1992 menjadi 53,2
juta ton pada tahun 2013. Operasi pertambangan KPC sepenuhnya teringrasi dan
berdikari. Kepemilikan saham KPC masih didominasi Grup Bakrie melalui PT Bumi
Resources Tbk.
“Kebijakan
jaminan reklamasi yang harus dibayar di depan juga menjadi persoalan
tersendiri. Perusahaan batu bara yang masih beroperasi sekarang adalah
perusahaan yang memiliki finansial kuat,” kata Yordhen.
Kabar yang
menggembirakan, Harga Batu Bara Acuan
(HBA) kembali naik tipis pada April 2016. HBA April 2016 tercatat senilai US$
52,32 per ton atau naik 1,36% dibandingkan dengan HBA bulan lalu senilai US$
51,62. Adapun HBA Februari 2016 ditetapkan senilai US$ 50,92 per ton.
Direktur Jenderal
Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono
mengatakan, kenaikan HBA pada bulan ini belum sepenuhnya menandakan bahwa pasar
komoditi emas hitam tersebut sudah pulih. "Naik, tapi
selisihnya enggak banyak. Masih temporer lah," katanya.
Deputi Direktur
Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia
menilai kenaikan harga tersebut cukup positif. Hal itu pun terlihat dari
menguatnya beberapa saham emiten batu bara di bursa sejak akhir kuartal I/2016.
"Namun, terlalu
dini untuk menyimpulkan bahwa tren penurunan harga sudah berakhir," katanya.
Dia menyatakan, harga
masih berpotensi turun kembali karena kondisi pasar global masih oversupply. Apalagi pertumbuhan
kebutuhan domestik masih lambat.
AJID KURNIAWAN