INGATAN Ardha
Prihandono melayang ke masa lalu. Mengumpulkan serpihan perjalanan hidup pada
tahun 1990-1998. Ada lukisan kehidupan indah
yang tertinggal di Balikpapan. Merekam kembali aktivitas berkesenian yang ia
lakukan bersama seniman-seniman di Balikpapan.
Beberapa perupa masih
diingatnya dengan sangat baik. Sebagian besar dari mereka adalah bekas
murid-muridnya di Sanggar Kembara. Tentu ia tidak melupakan dr Alexander dan alm. Moeanam—pematung dan
pelukis asal Kalimantan Timur.
Ardha, Alexander, dan Moeanam seringkali berkolaborasi
menggelar pameran. “Kami bertiga seperti tiga serangkai,” kata Ardha kepada Kaltim Weekly melalui sambungan telepon,
Jumat pekan lalu.
Pelukis wanita 62 tahun
itu sekarang menetap di Jakarta. Ardha adalah jebolan STSRI ASRI Jogjakarta. Ia
lantas melanjutkan studi ke ITB mengambil jurusan seni rupa. Lulus dari ITB
pada 1982, ia kemudian menjadi dosen di kampus almamaternya itu.
Profesi dosen ia
tanggalkan dan memilih mengikuti suami
yang bekerja di perusahaan migas VICO. Menetap di Balikpapan pada 1990, pelukis
kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera Barat itu tak bisa berdiam diri. Dia bertekad
untuk menularkan ilmu senirupa dan kemampuannya sebagai pengajar. Sebuah wadah
pembelajaran melukis bernama Sanggar Kembara kemudian didirikan.
Awal Sanggar Kembara
berdiri, jumlah muridnya sekitar 60 orang. Ia juga mendatangi sekolah-sekolah
dan memberikan brosur berisi pelatihan melukis secara gratis. Respons pun
berdatangan dari berbagai sekolah. Meminta diberikan pelajaran melukis.
“Murid-murid di Sanggar
Kembara tidak dibatasi usia. Yang muda dan tua boleh bergabung. Batas itu hanya
diperlihatkan oleh kemalasan dan semangat,” ujarnya.
Cadio Tarompo, Makian,
Zulkarnaen, Andi Saladin, Edhi Poeng,
Trisyoto, Adjie Pranyoto, HS Gotek, Achmad Ginting, Sumardi, Budi
Wiyono, Ismed Rifani, Alan Tola, Wulan Esty Widyani, Achmad Gani, Andi Juwita,
dan Heriadi adalah nama-nama pelukis yang pernah dibina oleh Ardha Prihandono.
Mereka tergabung dalam
Gempita Seni Rupa Kalimantan Timur dan pernah menggelar pameran lukisan, patung
dan bonsai memeringati 50 tahun kemerdekaan RI, pada 1995 di GOR Manuntung.
Alexander, Moeanam, Munir Asnawi, dan Surya Dharma, turut ambil bagian pada
pameran tersebut. Saat itu, Ardha menjadi ketua panitia pameran.
“Hampir sebagian besar
kemampuan melukis mereka didapat secara otodidak. Jika mereka berhasil, itu
karena ketekunan mereka. Saya hanya mengarahkan secara keilmuan,” kata mantan
dosen ITB itu.
Terhadap para anak
asuhnya, Ardha lebih memosisikan diri sebagai motivator. Memberikan semangat
kepada mereka agar selalu bergerak ke arah kemajuan. Meyakinkan kepada mereka
bahwa perupa adalah profesi yang menjanjikan secara ekonomi apabila dilakukan
secara cerdas. “Karena seni itu sejatinya adalah kebutuhan manusia,” ujarnya.
Menurut Ardha, tumbuhnya
industri kreatif merupakan bukti bahwa hiburan
bersama elemen-elemen yang ada di dalamnya telah menjadi sebuah kebutuhan.
Unsur rupa, jelas Ardha, selalu terselip pada industri musik, perfilman,
pariwisata, advertising, dlsb.
“Sekarang tinggal
bagaimana para perupa melihatnya. Mereka yang cerdas dan kreatif pasti akan
mendapatkan manfaat dari tumbuhnya industri kreatif,” kata pelukis asuhan
almarhum Wakidi ini.
Pada usia 62 tahun,
Ardha masih terlihat segar. Pecinta alam Wanadri ini masih aktif melukis. Ia
mengenang kembali awal mula pertemuannya dengan Alexander dan Moeanam. Dokter
Alexander yang pematung itu ia ketahui saat berkeliling di Pasar Inpres Kebun
Sayur. Kepada warga, ia bertanya-tanya nama-nama perupa di Balikpapan. Seseorang
memberitahukan kepada dia bahwa seorang dokter yang membuka praktik di Kebun
Sayur juga mahir membuat patung. “Setelah dapat informasi, lalu saya temui
beliau,” cerita Ardha.
Pada sosok Alexander,
Ardha mengenalnya sebagai pribadi yang humble,
berdisiplin tinggi, serta tekun dan ulet. Karakter yang melekat tersebut bisa
dipahami karena Alexander berlatar belakang militer dari kesatuan
kesehatan. “Kedisiplinan penting bagi
semua profesi dan pekerjaan, termasuk perupa,” ujarnya.
Perkenalan Ardha dengan
Moeanam terjadi pada sebuah acara yang digelar ekspatriat. Eksistensi Moeanam
dalam melukis rupanya sudah sangat dikenal oleh kalangan ekspatriat di
Balikpapan. “Seorang ekspatriat mengenalkan Moeanam kepada saya,” cerita Ardha.
Selain sebagai pelukis,
Moeanam juga mahir memahat. Perupa kelahiran Surabaya itu mengenyam pendidikan
seni rupa di ASRI Jogjakarta. Sudah banyak karyanya di Kalimantan Timur,
khususnya di Balikpapan.
Pertemanan ketiganya menghadirkan
seni ke tengah masyarakat. Melalui pameran-pameran seni, pengalaman-pengalaman
hidup mereka yang tertuang secara estetik dapat dinikmati oleh masyarakat
Kaltim.
“Kehadiran seni itu
penting untuk memberikan keseimbangan antara kebutuhan ragawi dan rohani,” ucap
Ardha.
Pada konteks kekinian,
Ardha menilai kebutuhan menghibur diri dengan berlibur telah menggejala di
masyarakat. Ungkapan di sosial media semisal “kurang piknik” atau “kurang
hiburan” menjadi refleksi atas kebutuhan itu.
“Momentum ini semestinya membangkitkan
kesadaran para perupa. Digitalasasi bukan
musuh perupa konvensional, tapi perupa harus adaptif. Musuh utama ada
pada diri sendiri perupa,” ujarnya.
Di mata Mochtar Apin,
Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, karya-karya Ardha mulai mendapat
perhatian pengamat. Pengantar ini
disampaikan Apin saat Ardha menggelar pameran di Bandung pada Januari
1989. Judul-judul lukisannya yang bernada puitis mengajak pengamat untuk
mendekati karya-karya Ardha.
“Ardha banyak
bereksperimen. Segala arah ditempuhnya untuk menjajaki segala kemungkinan. Ini
merupakan pertanda baik, karena eksperimen bagi seorang seniman merupakan
kegiatan yang tak akan ada hentinya selama ia berkarya,” tulis Mochtar Apin.
Soal aliran melukisnya
dan eksperimen tak berkesudahan yang ia lakukan, dengan nada canda Ardha
menyebutnya sebagai aliran Ardhaisme. “Itulah aliran saya. Ardhaisme,” ucapnya.
AJID KURNIAWAN