ads header

Saturday, April 30, 2016

Motivator dari Sanggar Kembara

6
INGATAN Ardha Prihandono melayang ke masa lalu. Mengumpulkan serpihan perjalanan hidup pada tahun 1990-1998. Ada lukisan  kehidupan indah yang tertinggal di Balikpapan. Merekam kembali aktivitas berkesenian yang ia lakukan bersama seniman-seniman di Balikpapan.

Beberapa perupa masih diingatnya dengan sangat baik. Sebagian besar dari mereka adalah bekas murid-muridnya di Sanggar Kembara. Tentu ia tidak melupakan  dr Alexander dan alm. Moeanam—pematung dan pelukis asal Kalimantan Timur. 

Ardha, Alexander, dan Moeanam seringkali berkolaborasi menggelar pameran. “Kami bertiga seperti tiga serangkai,” kata Ardha kepada Kaltim Weekly melalui sambungan telepon, Jumat pekan lalu.

Pelukis wanita 62 tahun itu sekarang menetap di Jakarta. Ardha adalah jebolan STSRI ASRI Jogjakarta. Ia lantas melanjutkan studi ke ITB mengambil jurusan seni rupa. Lulus dari ITB pada 1982, ia kemudian menjadi dosen di kampus almamaternya itu.

Profesi dosen ia tanggalkan dan memilih  mengikuti suami yang bekerja di perusahaan migas VICO. Menetap di Balikpapan pada 1990, pelukis kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera Barat itu tak bisa berdiam diri. Dia bertekad untuk menularkan ilmu senirupa dan kemampuannya sebagai pengajar. Sebuah wadah pembelajaran melukis bernama Sanggar Kembara kemudian didirikan.

Awal Sanggar Kembara berdiri, jumlah muridnya sekitar 60 orang. Ia juga mendatangi sekolah-sekolah dan memberikan brosur berisi pelatihan melukis secara gratis. Respons pun berdatangan dari berbagai sekolah. Meminta diberikan pelajaran melukis.

“Murid-murid di Sanggar Kembara tidak dibatasi usia. Yang muda dan tua boleh bergabung. Batas itu hanya diperlihatkan oleh kemalasan dan semangat,” ujarnya.

Cadio Tarompo, Makian, Zulkarnaen, Andi Saladin, Edhi Poeng,  Trisyoto, Adjie Pranyoto, HS Gotek, Achmad Ginting, Sumardi, Budi Wiyono, Ismed Rifani, Alan Tola, Wulan Esty Widyani, Achmad Gani, Andi Juwita, dan Heriadi adalah nama-nama pelukis yang pernah dibina oleh Ardha Prihandono.

Mereka tergabung dalam Gempita Seni Rupa Kalimantan Timur dan pernah menggelar pameran lukisan, patung dan bonsai memeringati 50 tahun kemerdekaan RI, pada 1995 di GOR Manuntung. Alexander, Moeanam, Munir Asnawi, dan Surya Dharma, turut ambil bagian pada pameran tersebut. Saat itu, Ardha menjadi ketua panitia pameran.

“Hampir sebagian besar kemampuan melukis mereka didapat secara otodidak. Jika mereka berhasil, itu karena ketekunan mereka. Saya hanya mengarahkan secara keilmuan,” kata mantan dosen ITB itu.

Terhadap para anak asuhnya, Ardha lebih memosisikan diri sebagai motivator. Memberikan semangat kepada mereka agar selalu bergerak ke arah kemajuan. Meyakinkan kepada mereka bahwa perupa adalah profesi yang  menjanjikan secara ekonomi apabila dilakukan secara cerdas. “Karena seni itu sejatinya adalah kebutuhan manusia,” ujarnya.

Menurut Ardha, tumbuhnya industri kreatif  merupakan bukti bahwa hiburan bersama elemen-elemen yang ada di dalamnya telah menjadi sebuah kebutuhan. Unsur rupa, jelas Ardha, selalu terselip pada industri musik, perfilman, pariwisata, advertising, dlsb.

“Sekarang tinggal bagaimana para perupa melihatnya. Mereka yang cerdas dan kreatif pasti akan mendapatkan manfaat dari tumbuhnya industri kreatif,” kata pelukis asuhan almarhum Wakidi ini.

Pada usia 62 tahun, Ardha masih terlihat segar. Pecinta alam Wanadri ini masih aktif melukis. Ia mengenang kembali awal mula pertemuannya dengan Alexander dan Moeanam. Dokter Alexander yang pematung itu ia ketahui saat berkeliling di Pasar Inpres Kebun Sayur. Kepada warga, ia bertanya-tanya nama-nama perupa di Balikpapan. Seseorang memberitahukan kepada dia bahwa seorang dokter yang membuka praktik di Kebun Sayur juga mahir membuat patung. “Setelah dapat informasi, lalu saya temui beliau,” cerita Ardha.

Pada sosok Alexander, Ardha mengenalnya sebagai pribadi yang humble, berdisiplin tinggi, serta tekun dan ulet. Karakter yang melekat tersebut bisa dipahami karena Alexander berlatar belakang militer dari kesatuan kesehatan.  “Kedisiplinan penting bagi semua profesi dan pekerjaan, termasuk perupa,” ujarnya.

Perkenalan Ardha dengan Moeanam terjadi pada sebuah acara yang digelar ekspatriat. Eksistensi Moeanam dalam melukis rupanya sudah sangat dikenal oleh kalangan ekspatriat di Balikpapan. “Seorang ekspatriat mengenalkan Moeanam kepada saya,” cerita Ardha.

Selain sebagai pelukis, Moeanam juga mahir memahat. Perupa kelahiran Surabaya itu mengenyam pendidikan seni rupa di ASRI Jogjakarta. Sudah banyak karyanya di Kalimantan Timur, khususnya di Balikpapan.

Pertemanan ketiganya menghadirkan seni ke tengah masyarakat. Melalui pameran-pameran seni, pengalaman-pengalaman hidup mereka yang tertuang secara estetik dapat dinikmati oleh masyarakat Kaltim.

“Kehadiran seni itu penting untuk memberikan keseimbangan antara kebutuhan ragawi dan rohani,” ucap Ardha.

Pada konteks kekinian, Ardha menilai kebutuhan menghibur diri dengan berlibur telah menggejala di masyarakat. Ungkapan di sosial media semisal “kurang piknik” atau “kurang hiburan” menjadi refleksi atas kebutuhan itu. 

“Momentum ini semestinya membangkitkan kesadaran para perupa. Digitalasasi bukan  musuh perupa konvensional, tapi perupa harus adaptif. Musuh utama ada pada diri sendiri perupa,” ujarnya.

Di mata Mochtar Apin, Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, karya-karya Ardha mulai mendapat perhatian pengamat. Pengantar ini  disampaikan Apin saat Ardha menggelar pameran di Bandung pada Januari 1989. Judul-judul lukisannya yang bernada puitis mengajak pengamat untuk mendekati karya-karya Ardha.

“Ardha banyak bereksperimen. Segala arah ditempuhnya untuk menjajaki segala kemungkinan. Ini merupakan pertanda baik, karena eksperimen bagi seorang seniman merupakan kegiatan yang tak akan ada hentinya selama ia berkarya,” tulis Mochtar Apin.

Soal aliran melukisnya dan eksperimen tak berkesudahan yang ia lakukan, dengan nada canda Ardha menyebutnya sebagai aliran Ardhaisme. “Itulah aliran saya. Ardhaisme,” ucapnya.
AJID KURNIAWAN


Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

6 comments:

ardhacadabra said...

Wah , pak Ajid menangkap isi pikiran saya, bahwa tidak ada yang tidak mungkin, kalau Allah bersama kegiatan kita. Didalam diri manusia tersimpan Aset yang sangat bermanfaat, untuk di bangkitkan sebagai Khalifah di Bumi. Jempol untuk pak Ajid. Yang menangkap garis besar filosofi hidup saya. Bahwa pada dasarnya kita tidak bisa berhenti Bersyukur atas segala nikmat yang di berikan Nya. Dan sebetulnya, Musuh kita yang paling Hebat adalah Diri Sendiri.

Admin said...

Senang sekali bisa berkenalan dengan ibu, semoga rupa kehidupan saya menjadi lebih berwarna. Sukses selalu untuk ibu dan keluarga...

Unknown said...

Salam hangat .....senang sekali saya pribadi membacanya, hanya saya ingin menambahkan ada beberapa pelukis sanggar Kembara yang kurang tertulis disitu yaitu: Heri Sukarno dan Joko Rumit.....terima kasih Mas Ajid

Admin said...

Siap mas Joko, terima kasih sdh memberikan pengayaan. Sukses selalu untuk mas Joko.

ardhacadabra said...

Apa khabar mas Ajid, ada tulisan2 lagi mengenai perkembangan Seni Rupa di Kal Tim ?? Ibu kangen Balikpapan. Selamat menulis.

Admin said...

Kabar baik ibu,main atuh ke balikpapan