ads header

Thursday, April 28, 2016

Pangdam Soemitro dan Tragedi 1965 di Kaltim

2

JENDERAL SOEMITRO, Pangkopkamtib yang pernah menjabat Pandam Mulawarman.



Tragedi 1965 adalah utang sejarah yang harus dilunasi oleh generasi sekarang. Inilah histori pergerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan underbouw-nya di Kalimantan Timur serta penumpasannya oleh Jenderal Soemitro.

MUHAMMAD SALEH SITOMPUL adalah seorang pensiunan TNI AD. Pernah bertugas di Kodam IX Mulawarman. Ia menghabiskan masa tua di kampung halaman. Di Pematang Siantar, Sumatera Utara. 

Sebuah acara simposium nasional bertemakan “Membedah Tragedi 1965” yang dihelat di Jakarta menarik perhatiannya untuk membongkar kembali koleksi buku-buku lawas miliknya. Buku bersampul gambar Jenderal Soemitro menjadi pilihan. Setebal 356 halaman, buku cetakan tahun 1994 itu ditulis oleh Ramadan KH--wartawan dan penulis buku biografi. Buku itu berjudul: Soemitro, dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib.

Buku yang menggunakan pendekatan historis pergerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan underbouw-nya di Kalimantan Timur serta sepak terjang penumpasannya oleh Jenderal Soemitro.

Kepada Noor Chansjah--sahabatnya yang tinggal di Balikpapan, Saleh Sitompul  berkorespondensi. Ia ingin agar fakta sejarah perjalanan karir militer Jenderal Soemitro selama menjabat Pangdam Mulawarman diketahui khalayak. Bagian pertama dari isi buku yang berjudul “Jadi Panglima Mulawarman” ia fotokopi lalu dikirimkan ke Balikpapan.

“Saya bersahabat dengan dia (Saleh Sitompul, Red.) karena ikatan organisasi di PII (Pelajar Islam Indonesia),” kata Noor Chansjah kepada saya di kediamannya Kompleks Perumahan Mandastana, Balikpapan.

Ketika Jenderal Soemitro menjabat Pangdam Mulawarman pada 1965, Noor Chansjah masih berusia 17 tahun. Sebagai aktivis pelajar, ia merasakan suasana mencekam yang diciptakan oleh PKI. Ia membenarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Balikpapan pada masa itu dan tindakan tanpa ampun menangkapi pengurus PKI dan ormas-ormasnya yang dilakukan Jenderal Soemitro. 

“Pak Saleh ingin fakta yang terjadi di Kaltim pada masa lalu diketahui khalayak,” kata mantan wartawan Mimbar Masyarakat dan pensiunan Sekretariat DPRD Balikpapan ini.

Buku “Soemitro, dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib” dibuka dengan cerita yang melatarbelakangi penunjukan Soemitro sebagai Pangdam Mulawarman oleh Jenderal Ahmad Yani. Menceritakan alasan-alasan penolakan Soemitro atas tawaran sebagai Panglima di Irian Jaya dari sejumlah jenderal. Namun untuk keputusan yang sudah diambil oleh Jenderal Ahmad Yani, Soemitro tidak dapat menolak dan harus mematuhinya. Ketidaksepahaman idelogi antara Soemitro dengan Brigjen Suharyo, Panglima Kodam IX Mulawarman yang digantikannya juga diulas secara gamblang.

Soemitro yang saat itu menjabat Ketua Dewan Perencana AD mendadak dipanggil oleh Jenderal Yani. Pada pertemuan yang berlangsung di kediaman Jenderal Yani, sambil bergurau Jenderal Yani berkata pada istrinya: “Bu, lihat Mitro, perutnya panglima”. Telinga Soemitro memerah mendengar Jenderal Yani menyebut-nyebut panglima. Soemitro sudah dapat menerka maksudnya.

Jenderal Yani lantas meminta Soemitro segera ke Balikpapan. Soemitro tercengang sejenak dan kembali bertanya. Mempertanyakan apakah yang dikatakan Jenderal Yani adalah perintah atau sekadar meminta pendapat. Mendengar jawaban dari sang jenderal bahwa itu adalah perintah, Soemitro tak lagi mengemukakan pendapat. “Ya, apalagi yang harus saya kemukakan? Saya akan laksanakan,” jawab Soemitro.

Sebagai prajurit yang harus menuruti perintah atasan, Soemitro menilai Ahmad Yani sebagai seorang jenderal yang memiliki sikap tegas. Jenderal Yani yang ia ketahui adalah seorang jenderal yang loyal pada atasan, punya pendirian, cepat mengambil keputusan, dan hangat pada bawahan. Di mata Soemitro, Jenderal Yani adalah seorang atasan dan seorang kawan.

PERSAHABATAN DUA JENDERAL: Somitro dan Ahmad Yani.
Dari pertemuan itulah akhirnya Soemitro menjadi mengerti mengapa pimpinan AD ingin menarik Brigjen Suharyo. Panglima Kodam IX Mulawarman itu dianggap terlalu dekat dengan PKI. Soemitro juga mendengar bahwa setiap kali Suharyo ke Jakarta, dia bisa masuk ke Istana Negara tanpa diketahui atau tanpa seizin Jenderal Yani. Ini artinya, Suharyo sangat dekat dengan Bung Karno.

***
Bagian dramatik pada buku ini mulai tersaji pada lembar ketigabelas. Mengisahkan awal mula Soemitro menjadi Pangdam Mulawarman. Perlakuan-perlakuan dari Brigjen Suharyo dan para perwira Kodam serta PKI dan ormas-ormasnya yang membuat Soemitro tersinggung. Juga amarah Soemitro manakala dirinya disebut sebagai jenderal kanan. Ramadan KH yang dikenal sebagai penyair menuangkan pengalaman-pengalaman Soemitro dengan gaya menulis bertutur. Suasana berbau PKI pada saat serah terima jabatan Pangdam Mulawarman dari Brigjen Suharyo kepada Brigjen Soemitro diceritakan secara detil.

Februari 1965, Soemitro berangkat ke Balikpapan. Tanpa keluarga. Keluarganya masih di Bandung. Anak-anaknya masih kecil dan sekolah mereka masih tanggung. Soemitro tidak mau mengorbankan anak-anaknya. Di lapangan terbang Balikpapan, Suharyo menjemput Soemitro dan merangkulnya erat-erat. Haryo Kecik—sapaan Brigjen Suharyo mengungkapkan perasaan bahagia kalau dirinya digantikan oleh Soemitro. Suharyo dan Soemitro memang berkawan. Sewaktu perang gerilya, Soemitro adalah komandan batalyon di Malang dan Suharyo sebagai komandan Korps Mahasiswa. Soemitro juga pernah bertemu dengan Suharyo di Ford Benning (Infantry Centre), Amerika Serikat. 

“Itu sepintas. Ketika belum terjadi persoalan dan saya keburu dirangkul oleh Suharyo,” kata Soemitro dalam buku biografinya.

Serah terima jabatan Panglima Kodam IX Mulawarman semestinya dihadiri oleh Jenderal Yani. Karena tak bisa hadir, inspektur sertijab digantikan oleh Pangkostrad Mayjen Soeharto. Inilah pertemuan kali pertama Soemitro dengan Soeharto. Sebelumnya, Soemitro belum pernah menjadi bawahan langsung Pak Harto. Ia hanya sering mendengar bahwa Pak Harto adalah orang yang tenang, sederhana, berwibawa dan tidak suka rame-rame.

Dengan jalan yang masih termiring-miring karena sakit pinggang, Soemitro ikut dalam upacara pemeriksaan barisan. Upacara dilakukan di lapangan terbuka dan massa menyaksikannya. Ketika defile dimulai, tiba-tiba Soemitro melihat poster besar dibawa pasukan rakyat. Poster itu bertuliskan: “Selamat Jalan Bapak Brigadir Jenderal Suharyo dan Selamat Datang Saudara Brigadir Jenderal Soemitro”. 

Soemitro tersentak melihat perbedaan kata “Bapak” dan “Saudara”. Sejenak ia tersinggung namun diam saja sembari berpikir. Ia menyimpulkan massa sudah dihasut untuk membedakan dirinya dengan Suharyo. Malam hari, Kodam mengadakan acara pisah-sambut. Di sebuah gedung bioskop. Massa banyak yang datang. Suharyo naik panggung. Ia berpidato. Lama sekali ia berpidato pada kesempatan itu. Sedikit-sedikit para tamu bertepuk tangan dan bersorak. Soemitro merasakan suasana PKI di situ. Isi pidato Suharyo hanya lewat di telinganya. Soemitro merasa tidak penting.

Di tengah-tengah pidatonya, Haryo berkata, “Sebenarnya saya masih senang di sini, masih mau lebih lama di sini. Tapi orang Jakarta tidak mengerti revolusi”. Soemitro terkejut. Jenderal berperawakan subur itu kembali dibuat terkejut. Oleh sambutan Ketua Front Nasional yang mengulangi tulisan di poster yang terlihat di lapangan saat sertijab. “Yang terhormat Bapak Brigjen Suharyo. Yang terhormat Saudara Brigjen Soemitro.”

Soemitro menyikut Kolonel Sukadyo yang duduk bersebelahan. Bertanya siapa yang berdiri di atas panggung. “PNI,” jawab Sukadyo. Soemitro menahan amarah dan bergumam dalam hati. “Kurang ajar dia. Kalau saya gebuk dia, hancur PNI”. 

Soemitro hanya memberikan sambutan pendek. Hanya lima menit. Dia berkata: “Saya belum kenal Saudara dan Saudara-Saudara belum kenal saya. Saya di sini orang asing. Saya tidak akan janji apa-apa. Pada saya tidak ada keistimewaan dan kemampuan khusus. Yang ada pada saya hanyalah keinginan mengabdi pada daerah”. Begitu isi pidato pendek Soemitro.

***
Bahwa ada dugaan Suharyo dekat dengan PKI sebagaimana dugaan banyak orang, Soemitro dalam bukunya justru tidak terlalu yakin. Soemitro mengira Suharyo lebih dekat ke PSI. Dan Soemitro yakin Suharyo bukan PKI. “Bagaimana ia bisa dikatakan PKI, hidupnya di Ft. Bening mewah. Di samping punya used car saya dengar punya kendaraan baru,” kata Soemitro. 

Pagi hari di Shell Guest House, tempat penginapan Pak Harto, Soemitro dan Suharyo sempat bertengkar. Soemitro menumpahkan amarahnya. Menyoal arti tulisan di poster-poster. Soemitro menuding Suharyo berada di belakang semua itu. Juga pidato selama empat jam Suharyo yang menyebut orang Jakarta tidak mengerti revolusi. Sementara keduanya bertengkar, Pak Harto ada di dalam. 

Minggu pertama Soemitro menjabat Pangdam Mulawarman tak meluncur dengan mulus. Ketua PKI di Balikpapan mengatakan Soemitro tidak mengerti revolusi dan mencap sebagai jenderal kanan. Soemitro tidak ingat siapa nama Ketua PKI Balikpapan itu. Ia panggil orang itu dan mengancam akan menjebloskan ke penjara jika mengucapkan hal itu sekali lagi. Sejak serah terima Pangdam Mulawarman, Soemitro mulai serius mengikuti perkembangan komunis di Kalimantan Timur. 

***
Bukan sekali dua kali Soemitro disindir sebagai jenderal kanan yang tidak mengerti revolusi. Dimulai dari acara pisah-sambut, sindiran itu berlanjut pada peringatan Hari Kartini dan Hari Buruh 1 Mei. Ada rapat raksasa pada peringatan Hari Buruh di Lapangan Persora (Lapangan Persiba, Red.). Ormas-ormasnya berkumpul, di antaranya Sobsi dan Perbum. Juga ada ormas PNI, NU, dan sebagainya. 

Sebelum Soemitro mendapat giliran terakhir berbicara, sebelumnya beberapa orang berbicara. Pidato mereka meluap-luap. Ketua Sobsi berbicara. Masih muda orangnya. Dalam pidatonya yang berapi-api, diulangi lagi kata-kata yang membuat Soemitro menjadi marah: “Jenderal kanan. Jenderal tidak mengerti revolusi”. Hanya menyebut jenderal tanpa menyebut nama. Soemitro mengerti siapa yang dimaksud dan kepada siapa pidato itu ditujukan. “PKI Kaltim mengetes saya dan mereka merasa kuat,” ujar Soemitro.

Soemitro menyalurkan emosinya dengan mengentak-entakan tongkat komando. Tak, tak, tak. Ia melihat ke kanan, ke kiri, kepada perwira-perwiranya. Soemitro tersentak. Tiga perwira justru terlihat tertawa-tawa mendengarkan pemuda itu berpidato. Begitu mendapat giliran berbicara, di atas panggung Soemitro langsung menatap Ketua Sobsi yang duduk di podium. Dengan tongkat komando, Soemitro menuding-nuding pemuda itu dan melontarkan kata-kata kasar. “Mengerti apa Saudara tentang revolusi. Sewaktu pecah revolusi, Saudara masih kecil, masih pesing,” kata Soemitro. Massa melongo. Tak mengira Soemitro akan berbicara seperti itu.

Selesai upacara, Soemitro langsung mengumpulkan semua bawahannya. Semua dikumpulkan di markas Kodam. Yang pertama dipanggil adalah Komandan Batalyon Kapten Mu’in. Kemudian Komandan CPM Letkol Murtiono. Kedua orang itu diperintah Soemitro untuk menangkapi seluruh pengurus PKI dan underbouw-nya di seluruh provinsi, sampai ke kabupaten. 

“Saya masih ingat, saat itu Kapten Mu’in menjabat Komandan Batalyon 609 Asrama Bukit,” kenang Noor Chansjah.

Tiga perwira yang tertawa terkekeh-kekeh saat mendengar pidato Ketua Sobsi dibebaskan dari tugas. “Kamu, kamu, kamu…begundalnya PKI. Kamu sekarang juga berhenti. Saya bebaskan kamu!” kata Soemitro sambil menatap wajah tiga perwira itu.

Tiga perwira itu adalah Letkol Rusmono, Letkol Sudjono, dan Letkol Toni Kartono. Rusmono adalah asisten lima (asisten teritorial), Sudjono adalah Komandan Batalyon dan Komandan Kodim Samarinda, sedang Toni Kartono Komandan Kodim Balikpapan. “Kamu tentara, tapi kamu begundalnya PKI,” ulang Soemitro belum puas. “Kamu tidak punya harga diri”.

Soemitro sempat memanggil Sudjono lagi dan bicara lagi dengannya. Sebelumnya, Soemitro pernah mendengar kalau Sudjono tukang main dor, seperti Suharyo. “Kamu disalip orang, kamu langsung nembak kendaraan yang di depanmu. Sekarang keluarkan pistolmu, kalau kamu laki-laki”. Mendengar amarah Soemitro, Sudjono gemetar. Kencing di celana dia. Benar-benar dia kencing. Ketiga perwira itu dikenakan tahanan rumah oleh Soemitro.

Semua pengurus PKI, Perbum, Sobsi, Gerwani, Pemuda Rakyat dan lain-lain sudah ditangkapi. Soemitro menutup wilayah Balikpapan, termasuk lapangan udara dan pelabuhan. Pada saat penangkapan dilakukan, para prajurit melampiaskan kedongkolannya terhadap PKI dengan menendang-nendang dan lain sebagainya. Soemitro lalu melaporkan apa yang telah dilakukannya kepada Mayjen Panggabean di Banjarmasin. Panggabean menyuruh Soemitro melapor kepada Jenderal Yani. Terbanglah Soemitro ke Jakarta. 

“Ya, saya dipaksa jadi panglima. Tapi saya ndak mau dihina PKI. Kalau mau tarik saya, silakan…,” kata Soemitro kepada Jenderal Yani. 
Jenderal Soemitro bersama Presiden Soekarno.
Bersama Jenderal Yani, esok harinya Soemitro menghadap Bung Karno. Soemitro dan Jenderal Yani diterima Bung Karno di ruangan kecil, di bagian belakang istana. Waktu itu, Bung Karno sarapan roti lebar sekali disiram madu arab. Di sebelah piringnya terdapat satu mangkuk kecil yang berisi berbagai obat. Warnanya aneh-aneh dan bentuknya kecil-kecil. Sedang asyik makan, tiba-tiba Bung Karno bertanya kepada Soemitro. “Saya dengar Generaal Mitro sering ngrasani saya,” celetuk Bung Karno. Soemitro kaget dan kembali bertanya: “Ngrasani apa, Pak?”. “Mengenai perempuan…..” timpal Bung Karno. 

Soemitro menjawab: “Tidak pernah, hanya belajar dari kesalahan-kesalahan Bapak”. “Oh, bagus…bagus…” sahut Bung Karno lalu melanjutkan makan. Mendadak kaki Soemitro diinjak oleh Jenderal Yani. Soemitro malah bingung, apakah harus melapor atau tidak. (*) 

Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

2 comments:

warnabumi said...

Mungkin buat versi lengkap dan tuntas ceritanya Mas Ajid, biar informasi sejarahnya gak setengah setengah. Tapi salut dah bisa menceritakan ini.

TALENTSIA said...

Luar biasa pa....sangat jarang kita tau yg terjadi di kota kelahairan saya ini apa.lagi di masa2 itu..sangat berharga..di runggu part 2x pak