ads header

Thursday, March 31, 2016

"Penyakit" Pemimpin

0
TENTANG KEIKHLASAN: Sukri Wahid dan dr Usman pada kontestasi Pilkada Balikpapan.

ADA pepatah yang mengatakan bahwa kalau ingin melihat watak seorang pemimpin, simaklah perilakunya bukan sewaktu ia menang namun sewaktu ia kalah. Dalam ajaran agama, keimanan seseorang juga terlihat manakala ia mendapatkan cobaan dan ujian, bukan hanya sewaktu ia mendapat nikmat dan kesenangan.

Situasi seperti ini juga berlaku dalam kompetisi politik, termasuk pemilu kepala daerah (Pemilukada). Setelah menjalani penjaringan di partai politik, kampanye panjang yang menguras dana, tenaga, dan emosi, semua pemimpin pasti akan merasa terpukul menerima kekalahan. 

Di sini ada dua kategori pemimpin. Ada pemimpin yang sakit hati, tidak bisa menerima kenyataan kalah, mencari kambing hitam, bahkan menyalahkan rakyat yang dianggapnya “salah memilih”. Ada juga pemimpin yang menerima kekalahan dengan ikhlas, sportif, dan mengambil pelajaran dari kekalahannya untuk masa depan. Bagi seorang politisi, menang dan kalah merupakan bagian dari pendidikan dan pendewasaan politik.

Delapan tahun meninggalkan Balikpapan karena ditugaskan ke Sampit (2006-2014), saya kurang mengetahui riak-riak politik yang terjadi pada dua Pemilukada Balikpapan (Pemilukada 2006 dan 2011). Beberapa figur yang mencuat pada Pemilukada Balikpapan 2015 juga belum saya kenal. Sebut saja Syukri Wahid, Rahmad Mas’ud, Suhartono, Ida Prahastuty, Hasbullah, Gatot Koco, Annisa Baraqbah, dan Sirajuddin Machmud. Sebagai “orang lama” yang kembali ke Balikpapan, saya belum begitu mengenal mereka. Kedikenalan mereka saya ketahui dari literasi media massa. Itu pun hanya beberapa saja dari mereka.

Akhir pekan lalu, saya berkesempatan berbincang dengan Syukri Wahid. Inilah pertemuan pertama saya dengan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut. Identitas dokter gigi yang politisi plus ustaz itu saya ketahui saat ia berdiri di Mimbar Jumat. Di Masjid Namirah, Balikpapan Baru, ia mengulas mengenai kepemimpinan islami dan menghubungkannya dalam konteks kekinian. 

Jika tema tentang kepemimpinan Islam kerap ia sampaikan saat berdakwah, itu karena bacaan mengenai Sirah Nabawiyah telah menjadi santapannya sejak muda. Aktivitas berdakwah alumnus Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanudin, Makassar itu bahkan sudah dilakukannya semenjak berstatus mahasiswa. 

***
Semua sudah mengetahui bahwa Syukri Wahid mempunyai proyeksi pada pemilihan wali kota (Pilwali) Balikpapan 2015. Ini bukan kali pertama ia mencalonkan diri. Pada Pilwali Balikpapan 2011, ia yang berpasangan dengan Usman Chusaini harus mengakui kemenangan pasangan petahana Rizal Effendi-Heru Bambang. Kepada saya, ia mengaku menerima dan ikhlas atas kekalahannya. Ia mengambil hikmah serta belajar dari kekalahan itu.

Menyangkut kekalahannya pada Pilwali Balikpapan 2011, ia telah melakukan evaluasi dan introspeksi diri. Seorang pemimpin memang harus tahu apakah ia masih ada waktu berkiprah atau sudah kedaluarsa. Tentu, pada Pilwali 2015 kali ini ia tak mau miscalculate atau salah hitung lagi. Ia percaya atas hasil survei, khususnya yang obyektif dan bebas dari pesanan siapapun. Kepuasan publik memang mengalami pasang surut, up and down. Bagi dia, survei merupakan alat ukur. Kalau hasilnya kurang baik, harus ditemukan sumber penyebabnya, untuk kemudian diperbaiki. 

Ia juga telah melakukan analisis SWOT untuk mengukur kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam menghadapi kontestasi politik. Satu hal yang ia catat adalah adanya pandangan bahwa dirinya “kurang dekat” dengan kalangan Nadlatul Ulama (NU). Penilaian akan hal tersebut sudah tentu ia bantah. 

Pada kesempatan berbeda, bersama tokoh masyarakat Banjar Fadjry Zamzam, saya sempat berdiskusi ringan bertemakan menguliti “penyakit” calon pemimpin daerah. Pengacara senior di Balikpapan tersebut menceritakan hal hangat yang sedang menjadi pembicaraan di kalangan bubuhan Banjar. Kami sepaham bahwa saat ini banyak orang yang concern dengan leadership style. Mungkin karena masyarakat kita mulai berubah menjadi tidak berjarak dengan pemimpin-pemimpinnya.

Sebagai bagian dari masyarakat Balikpapan, ia tak mau “mencelakakan” calon pemimpin terpilih. Karenanya, sandaran yang harus dijadikan pijakan dalam memilih haruslah pemimpin yang bersih dan berkompetensi. Sekarang inilah waktu yang tepat untuk menguliti “penyakit-penyakit” calon pemimpin Balikpapan. “Penyakit koruptif, amoral, bisnis ilegal, atau ijazah bermasalah para calon pemimpin perlu di-tracking,” kata dia.

Saatnya pula untuk menelisik motivasi atau hasrat berkuasa para kandidat Pilwali Balikpapan. David McClelland menyebutkan bahwa motivasi seseorang itu dibagi menjadi 3 yaitu: Motivasi Berprestasi (Achievement Motive), Motivasi Bersahabat (Affiliation Motive) dan Motivasi Berkuasa (Power Motive).

Motivasi bersahabat yaitu hasrat seseorang untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain, sedangkan motivasi berkuasa yaitu hasrat seseorang untuk menguasai orang lain. Motivasi berprestasi adalah hasrat seseorang untuk berprestasi atau mencapai tujuan dengan mewujudkan visi-misinya. Motivasi berkuasa tidak cocok dijadikan prioritas pertama. Ini paling berbahaya, karena kalau ini menjadi prioritas pertama, maka pemimpin bisa menghalalkan segala cara untuk bisa berkuasa.

Motivasi bersahabat juga tidak cocok untuk dijadikan prioritas pertama. Mengapa? Seorang pemimpin akan lemah dan sangat sulit mewujudkan suatu program apabila tidak populis dan bisa menyakiti pihak lain. Kata sederhananya, kalau sudah terlalu dekat, ia akan susah untuk membuat keputusan yang bersinggungan dengan kedekatan. 

Kawan, kursi jabatan itu empuk. Kedudukan mentereng itu impian. Kekayaan melimpah itu dambaan. Pamor diri itu prestasi. Sedangkan kesempatan emas tidak datang dua kali. Menemukan sosok elite yang menjunjung tinggi moralitas dalam berpolitik bukan perkara mudah. Diperlukan banyak referensi sebelum menentukan pilihan. (*)


Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: