ads header

Thursday, March 31, 2016

Komentar Leadership

0
LEADER: Rubrikasi Leader yang tersaji di Koran Kaltim Post.

ADA gejala menarik terkait concern masyarakat mengkritisi pimpinan-pimpinan mereka. Ya, leadership style telah menjadi topik hangat pembicaraan. Begitu banyak orang mengkritisi gubernur, bupati, pimpinan DPRD, kapolda, kapolres, kepala kejaksaan, ketua pengadilan, pimpinan partai, pengusaha, sampai bos-bos mereka sendiri. Kepala SKPD, camat, lurah, atau Ketua RT semua dapat giliran dikritisi atau mengkritisi. Terlebih kepada pejabat layanan publik seperti PT. PLN, PDAM, dan Perbankan. Lewat saluran interaksi di media, kritik, hujatan dan umpatan yang terlontar luar biasa derasnya. 

Pokoknya setiap gaya dan cara orang memimpin selalu dikomentari. Cara berpakaian dan aksesori yang dikenakan pimpinan dicermati. Pimpinan jarang masuk kantor dikritisi. Karakter pimpinan yang reaksioner dan emosional disorot. Sikap plintat-plintut pimpinan dicibir. Kebiasaan jam karet dikecam. Terlalu protokoler tidak disenangi. “Hobi” ngelencer ke luar daerah dicaci. Terlalu sering blusukan dianggap pencitraan. Nomorhandphone sulit dihubungi atau sering gonta-ganti nomor dinilai anti-komunikasi. Hingga hobi bermusik dan menyanyi pun dipergunjingkan. Seru sekali, bukan!

***
Saya mendapat pemahaman bahwa korupsi itu dapat dibedakan dalam dua bentuk. Begitu menurut begawan hukum Satjipto Rahardjo. Ia membedakannya atas korupsi konvensional dan nonkonvensional. Korupsi konvensional adalah korupsi menurut hukum pidana, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang merugikan keuangan negara dengan cara melawan hukum. Sedangkan korupsi nonkonvensional adalah perilaku koruptif dalam hidup sehari-hari, seperti arogansi kekuasaan, suka mempersulit urusan orang, suka disanjung-sanjung, sangat suka pada protokoler yang meninggikan diri, atau suka membuat orang lain yang ingin bertemu menunggu lama. 

Menurut pakar bisnis dan manajemen Rhenald Kasali, karakter tidak dapat diciptakan dengan membayar mahal pengamat-pengamat politik atau pakar-pakar komunikasi. Yang dapat dibangun itu cuma sebuah drama yang disebut “reputasi pencitraan”. 

Karakter berbeda dengan reputasi pencitraan. Reputasi hanya mencerminkan apa yang tampak di garis luar, disampaikan orang-orang tertentu untuk “menghibur hati”. Reputasi adalah ucapan orang yang bisa tulus, bisa juga tidak, bisa benar, bisa juga dibenar-benarkan. Meski penting, karakter belumlah cukup. Seorang pimpinan juga diukur dari “apa yang dia lakukan”. Kedalaman kompetensi dan kematangan seorang pimpinan tercerminkan pada apa yang dilakukannya. 

Kongko-kongko saya dengan teman-teman pengusaha, mereka begitu mendambakan gaya kepemimpinan Dahlan Iskan yang penuh gebrakan bisa menulari para pimpinan di daerah. Kata mereka, seandainya para pejabat publik di daerah ini seberani dan sekreatif Dahlan, masa keemasan daerah akan segera tercapai. Mereka yakin sekali akan hal itu. Kalaupun tidak seberani dan sekreatif Dahlan Iskan, hendaknya mereka belajar untuk dapat seperti itu. Jangan menghalanginya. 

Harus diakui, sejak hadir di pentas jabatan publik, Dahlan telah melakukan terobosan kepemimpinan yang sangat memukau. Terobosan itu secara perlahan mendapat perhatian dan dukungan publik. Hasbullah Sastrawi misalnya, pengamat politik Timur Tengah itu berpandangan, respons publik yang sangat positif terhadap gaya kepemimpinan Dahlan Iskan dapat dipahami dari dua sisi. 

Di satu sisi respons itu mencerminkan tingkat kejenuhan masyarakat terhadap gaya kepemimpinan yang bercorak formalistik, legalistik, dan miskin substansi. Di sisi lain gaya kepemimpinan tokoh tersebut terbukti secara perlahan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Dengan kata lain, Dahlan dianggap publik sebagai pembawa kepemimpinan yang relevan dan kontekstual dengan beratnya persoalan-persoalan yang ada. 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bahkan sangat respek melihat gebrakan-gebrakan yang dilakukan Dahlan Iskan saat menjabat Menteri BUMN. Menurut Mahfud dalam buku “Inilah Dahlan Itulah Dahlan”, langkah-langkah dan pembawaan Dahlan Iskan layak diberi gelar. Dan gelar yang paling cocok untuk Dahlan Iskan adalah Al Daakhil yang berarti sang pendobrak atau sang penakluk. Sehingga nama Dahlan Iskan bisa ditambah satu kata menjadi Dahlan Iskan Al Daakhil atau Dahlan Iskan sang Pendobrak dan Penakluk. 

Pada skala nasional dan daerah, harus diakui bahwa kesadaran akan kepemimpinan kontekstual selama ini masih cukup lemah. Pembahasan tentang kepemimpinan masih kerap mengacu pada nilai-nilai primordialisme. Padahal masalah-masalah yang ada mungkin tidak berhubungan secara langsung dengan nilai-nilai primodial tersebut. 

Sejatinya, pilihan terhadap seorang pimpinan harus memperhatikan kemampuan dan kecakapannya dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Dengan kata lain, kecakapan seorang pimpinan dalam menghadapi aneka persoalan harus menjadi pertimbangan prioritas. Saya kira, kita sepaham bahwa setiap calon pimpinan dan pimpinan dapat belajar bahwa kini segala sesuatunya telah berubah.

***
Tema kepemimpinan menjadi bahan diskusi hangat ketika para Pimpinan Redaksi Koran Metro kelompok Jawa Pos Group berguru langsung kepada Dahlan Iskan. “Oleh-oleh” tentang kepemimpinan itu sudah dibagikan oleh tiga murid Dahlan Iskan dari Balikpapan dan Samarinda sekembalinya dari Padepokan Dahlan Iskan di Jakarta. Di Balikpapan, Pemred Balikpapan Pos Yudhianto menceritakan gemblengan selama 10 hari yang telah diterimanya sebagai murid.

Bicara leadership, bagi Dahlan itu sudah masuk art atau seni memimpin. Bukan lagi teknis menjalankan prosedur. Art inilah bagaimana kita bisa bekerja dengan yang di atas, samping, dan bawah. Karena sudah pada tingkat leadership, maka leadership yang lebih menonjol. Kebijakan dan gaya leadership lebih menentukan daripada formalitas apapun. “Kalau kita bicara dalam filsafat: bagaimana menarik benang tanpa merusak tepung,” ujar Dahlan dalam resume “Doktrin Dahlan Iskan” yang disampaikan Yudhianto.

“Seluruh doa itu esensinya adalah perintah”. Begitu sang guru berujar kepada sang murid. Sehingga kalau pimpinan dan bawahan bisa memerintahkan Tuhan, maka atasan dan bawahan pun saling bisa memerintah. “Ini hanya soal cara,” kata Dahlan. Kawan, perubahan akan selalu mengiringi kelebat waktu. Oleh karena itu, mari beradaptasi dan memperbaiki leadership kita!. (*)
Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: