AJID KURNIAWAN |
DUA gambar pertandingan sepakbola ditampilkan dalam satu slide. Gambar A menampilkan kompetisi Liga Inggris dan Bundesliga. Fairplay diperlihatkan pada dua kompetisi di Benua Biru itu.
Situasi berbeda dipertontonkan pada gambar B yang
menampilkan kompetisi sepakbola domestik. Situasinya ricuh. Antarpemain saling
pukul. Wasit babak belur dikeroyok pemain. Supporter
dan aparat keamanan ikut berjibaku masuk ke dalam lapangan. Lalu pertanyaan
diajukan: Bagaimana ciri-ciri dari sebuah pertandingan yang berjalan fairplay?
Ada yang
menjawab: karena aturan pertandingan dijabarkan secara rinci, dipahami, dan
dihormati oleh tiap pemain sehingga memiliki makna hukum yang sebenarnya.
Jawaban lain
mengemuka: dapat dilakukan pemisahan yang sangat jelas antara
bentuk-bentuk pelanggaran yang bersifat kebetulan/kecelakaan, yang kasat mata,
yang disengaja, yang bersifat teknis, dan yang bermotif merusak sportifitas.
Kawan di sebelah saya berdiri lalu berkata: wasit yang memimpin
pertandingan merupakan orang-orang profesional, terlatih, dan menjalankan
aturan secara tegas dan bijak.
Saya turut bersuara: karena pertandingan berlangsung apa adanya, tidak
terdapat ‘permainan sabun’. Kemudian
terdengar suara dari perempuan berhijab yang berprofesi sebagai notaris.
“Hasil akhir pertandingan betul-betul ditentukan di lapangan berdasarkan kemampuan para pemain dan pelatih dalam melakukan strategi dan taktik pertandingan yang halal,” kata dia.
“Hasil akhir pertandingan betul-betul ditentukan di lapangan berdasarkan kemampuan para pemain dan pelatih dalam melakukan strategi dan taktik pertandingan yang halal,” kata dia.
Itulah gambaran suasana yang masih terekam dalam memori saya ketika
menghadiri pembekalan sebagai Tim Seleksi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten
Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah, 2013 lalu.
Dalam sebuah pertandingan, pelanggaran
pastilah ada dan bahkan wajar sebagai akibat adanya keseriusan tiap pemain
dalam memenangkan pertandingan. Namun, pelanggaran itu bukanlah perilaku membahayakan
seluruh pertandingan ataupun membahayakan sikap sportif yang seharusnya
dibangun.
Luas
diketahui, wasit memegang peran sentral dalam sebuah pertandingan. Tugas wasit
(baca: anggota KPU) adalah menjaga sportifitas pertandingan dan menegakkan aturan
secara adil.
Saat kepercayaan telah diberikan, pemberi kepercayaan bisa jadi masih diliputi rasa kurang pasti tentang reabilitas pihak yang diberi kepercayaan. Apakah orang atau lembaga yang diberi kepercayaan itu akan bertindak atau berperilaku sesuai yang diharapkan. Ini terkait trust atau kepercayaan. Untuk seseorang atau institusi terpercaya, dia tidak hanya harus memiliki karakter moral yang kuat, tetapi juga memiliki kompetensi yang baik.
Saat kepercayaan telah diberikan, pemberi kepercayaan bisa jadi masih diliputi rasa kurang pasti tentang reabilitas pihak yang diberi kepercayaan. Apakah orang atau lembaga yang diberi kepercayaan itu akan bertindak atau berperilaku sesuai yang diharapkan. Ini terkait trust atau kepercayaan. Untuk seseorang atau institusi terpercaya, dia tidak hanya harus memiliki karakter moral yang kuat, tetapi juga memiliki kompetensi yang baik.
Dua jenis trust ini saling terkait. Manakala
masyarakat mengalami interpersonal trust
rendah, maka akan cenderung terjadi rendahnya tingkat trust pada institusi. Oleh karena itu, integritas, kompetensi,
kepemimpinan, dan independensi menjadi acuan utama dalam kriteria pemilihan
calon anggota KPU/Bawaslu.
Para komisioner KPU dan Bawaslu telah
memahami bahwa penyelenggaraan pemilu berdasarkan pada asas: mandiri; jujur; adil;
kepastian hukum; tertib; kepentingan
umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi;
dan efektivitas.
Dalam tahapan pilkada, pileg dan pilpres, terdapat empat tahapan yang memiliki potensi
kerawanan pelanggaran. Masalah tersebut antara lain; alat peraga kampanye, pemutakhiran DPT, penetapan calon, serta tahapan penghitungan suara.
Agar tak muncul prasangka negatif,
semestinya lembaga ini menjelaskannya kepada publik. Menjelaskan secara terang
benderang sesuai prinsip keterbukaan, kepastian hukum, akuntabilitas, jujur,
dan demi kepentingan umum.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) patut pula turun tangan menginvestigasi permasalahan ini dengan saksama sebelum membukanya kepada publik.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) patut pula turun tangan menginvestigasi permasalahan ini dengan saksama sebelum membukanya kepada publik.
Di pihak lain, masyarakat harus berani
melapor kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) manakala menemukan
indikasi-indikasi pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu.
Jangan takut. Di era internet ini, teror dan ancaman bisa dikalahkan asalkan mereka berani berbicara. Pers, termasuk media sosial, terbukti efektif mengawasi penyelewengan. Independensi institusi KPU/Bawaslu tak bisa ditawar lagi. (*)
Jangan takut. Di era internet ini, teror dan ancaman bisa dikalahkan asalkan mereka berani berbicara. Pers, termasuk media sosial, terbukti efektif mengawasi penyelewengan. Independensi institusi KPU/Bawaslu tak bisa ditawar lagi. (*)