ads header

Thursday, March 31, 2016

Dayak Bermutu

0
MENJAGA TRADISI: Seni dan budaya yang menjadi identitas ke-Dayak-an.
BAGI orang Dayak, warna tidak sekadar memberikan nuansa variatif. Warna hitam, putih, hijau, kuning, dan merah merupakan hasil penjelajahan melewati lima alam. 

Hitam memberi kekuatan bersembunyi di kegelapan. Putih tidak saja bermakna kesucian tetapi juga bermakna ketulusan. Hijau merupakan pertanda kehidupan. Kuning mencerminkan kemuliaan dalam suasana batin orang yang rendah hati. Merah merefleksikan keteguhan memegang sebuah prinsip.

Filosofi warna menurut orang Dayak itu merupakan catatan Kardinal Tarung, seorang birokrat yang seniman. Ia bertugas di Pemprov Kalimantan Tengah. Judulnya, “Dayak yang Belajar dari Kehidupan”. Sebuah catatan yang terhimpun dalam sebuah buku berjudul “Di Mana Bumi di Pijak di Sana Langit Dibangun”. 

Buku ini merupakan untaian pendapat para pembedah dari acara bedah buku berjudul “Budaya Dayak, Permasalahan dan Alternatifnya” karya Kusni Sulang. Acara bedah buku yang diselenggarakan di Palangka Raya itu sudah cukup lama, tepatnya pada 14 Oktober 2011. 

Kendati tak bisa hadir karena alasan kesehatan, pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohammad turut andil menyampaikan pokok-pokok pikirannya. Imam Budhi Santosa, budayawan asal Jogjakarta juga mau berlelah-lelah menempuh jalan panjang untuk datang sebagai pembedah. Di tengah aktivitasnya yang super sibuk, Pastor Frans de Sales Sani Lake masih meluangkan waktu menjadi pembedah.

Saya bersyukur bisa mengenal seorang budayawan bernama Kusni Sulang, figur yang sangat bersahaja, namun gigih dan menjunjung tinggi norma-norma akademis. Sesuai jenjang pendidikan yang dimilikinya, melalui pendidikan di dalam negeri dan di luar negeri, ia dapat melihat ranah budaya Dayak secara lugas dan pantas untuk disimak dan dijadikan acuan.

Suatu siang, bersama sang istri Andriani S Kusni, ia bertandang ke kantorRadar Sampit (Kaltim Post Group). Kepada saya, ia menyampaikan tawaran untuk mengisi rubrikasi budaya di suratkabar yang kami kelola. Tak perlu berpikir lama, saya menyetujui tawaran tersebut. 

Maklum, meskipun sudah 25 tahun menetap di Bumi Borneo, tujuh tahun berada di Kalsel, delapan tahun di Kaltim, dan 10 tahun di Kalteng, pemahaman saya soal Dayak, bahasa dan kebudayaannya masih minim. Kepada Pak Kusni, saya meminta agar rubrik budaya yang ditanganinya menyisipkan hikayat atau legenda masyarakat Dayak. Juga kamus bahasa Dayak Ngaju. Rubrik budaya bernama “Sahewan Panarung” tersebut akhirnya menghiasi halaman koran setiap edisi Minggu setelah pertemuan itu.

Dari perkenalan yang diakhiri dengan jalinan kerjasama mengisi rubrik kebudayaan itu, Kusni Sulang menghadiahi saya dua buah buku. Ya, buku yang sedang kita ulas ini. Membaca buku “Budaya Dayak, Permasalahan dan Alternatifnya”, banyak permasalahan mendasar yang dialami masyarakat Dayak. Antara lain terjadinya penghapusan, pemelesetan, dan penyimpangan terhadap nilai budaya Dayak secara sistematis oleh masyarakat Dayak sendiri, serta masyarakat lain yang mempunyai kepentingan tertentu dengan Kalimantan. Nilai-nilai budaya Dayak juga telah termanipulasi demi kepentingan ekonomi dan politik praktis. Friksi internal antar pribadi, dan kelompok di kalangan masyarakat Dayak tak terhindari.

Maka, budaya yang berkembang liar dan mencari jalannya sendiri tidak boleh dibiarkan. “Tawuran dan benturan fisik terjadi ketika budi tidak lagi dikendalikan oleh daya, tetapi budi dikendalikan oleh emosi,” tulis Kusni Sulang.

Kusni Sulang dikenal sebagai budayawan nyentrik. Ia malang melintang dalam ragam kegiatan masyarakat Dayak. Tengoklah pikiran Kusni dalam buku BDPA. Menurut dia, saat ini keadaan kebudayaan Dayak dalam situasi gawat. Niscayanya organisasi-organisasi kebudayaan orang Dayak harus berbuat lebih aktif untuk menanggulangi keadaan. Tapi agaknya organisasi-organisasi kebudayaan Dayak justru banyak bergeser dari kebudayaan ke bidang politik praktis yang sarat kepentingan ekonomi. 

Kusni menawarkan agar orang Kalimantan memajukan gerakan kebudayaan hibrida untuk Dayak. Kusni cukup kuat mengalaskan pemikirannya dengan sokongan data-data terbaru. Budaya hibrida adalah salah satu pilihan di antara berbagai alternatif yang tumbuh di tengah masyarakat Kalimantan.

“Budaya hibrida tidak saling memakan, tidak bercirikan saling mencari menang, saling takluk menakluk, tapi saling memperkaya,” kata Kusni.

Kusni mengajak agar Dayak menjadikan diri sebagai “Dayak Bermutu”. Juga mengajak agar semua orang Dayak merenungkan eksistensi ke-Dayak-an dalam konteks masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tampakkan kepada dunia bahwa orang Dayak menghindari ada dendam, dan jika ada dendam di antara mereka segera dilakukan ritual memutuskan dendam.

Jika Dayak tidak lagi mempunyai penopang, ia mencemaskan apa yang dikatakan oleh Amartya Sen bisa padan untuk melukiskan prospek seram masa depan Dayak. “Kita pun akan terbawa ke prospek masa depan yang seram” sebagaimana digambarkan oleh Matthew Arnold dalam syairnya “Dower Beach”:

Dan di sini kita berdiri di atas dataran kelam
Terombang-ambing oleh kengerian pertarungan dan pergumulan
Kala bala tentara yang bebal bertempur pada malam buta

Apakah Dayak memang “bala tentara yang bebal” dan bukan lagi rengan tingang nyanak jata (anak enggang putera-puteri naga). (*)
Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: