ads header

Thursday, March 31, 2016

Bahagia Sederhana

0
BAHAGIA INDONESIA: Hasil survei menyatakan rata-rata orang Indonesia bahagia.

KEBAHAGIAAN sesungguhnya adalah sesuatu yang relatif dan subjektif. Pastilah setiap individu memiliki sudut pandang berbeda memaknai hakikat kebahagiaan. Bergantung situasi dan kondisinya. Juga kepada siapa pemaknaan kebahagiaan itu dipertanyakan. 

Mereka yang sedang kasmaran memiliki tafsir tersendiri akan kebahagiaan. Simaklah sebait lirik dari lagu Wina Natalia feat Abdul The Coffee: Bahagia itu Sederhana. 

Bahagia itu sederhana
Hanya dengan melihat senyummu
Ketika dunia seakan mengacuh
Kita bercanda tertawa bersama

So sweet! Sederhana, bukan? Begitu banyak sinar kebahagiaan menyirami masyarakat kita. Masyarakat yang hidup dalam kesederhanaan. Tinggal di rumah kontrakan dan banyak utang, tapi masih sering menyunggingkan senyuman. Tertawa terbahak-bahak mendengarkan hal-hal yang dinilai lucu. 

Sebaliknya, bukan tak mungkin seseorang yang bergelimang harta, tapi hatinya acap resah dan sering bersungut-sungut. Hidupnya justru tak bahagia karena selalu di bawah tekanan dan ambisi yang tak pernah terpuaskan. Begitu berjuta makna kebahagiaan itu. Relatif dan subjektif.

Mari membicarakan kebahagiaan versi rumit.Versi Badan Pusat Statistik (BPS). Institusi pengolah data itu mendefinisikan kebahagiaan berbasis pendapatan. Selama seseorang puas dengan pendapatannya maka orang itu akan bahagia.

Bagong Suyanto, dosen Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga menilai, pendekatan kebahagiaan versi BPS adalah kemunduran cara berpikir. Pengandaian ini terlalu linear untuk memotret arti kebahagiaan yang riil dalam masyarakat, yang sebetulnya dibentuk oleh nilai-nilai sosial yang dihidupi antarindividu.

Lantas, bagaimana dengan tingkat kriminalitas? Tingkat kepercayaan warga terhadap lingkungan sekitar dan aparatur negara? Keharmonisan antarumat beragama? Akses terhadap infrastruktur publik? Tingkat penggunaan obat antidepresan? Berbagai persoalan tersebut luput dari visi kebahagiaan BPS yang masih menggunakan kacamata kuda dengan mendefinisikannya lewat gaji per bulan.

Dalam indeksnya, BPS membagi strata kebahagiaan menjadi empat level: tidak bahagia (0-25%), tidak cukup bahagia (25-50%), bahagia (50-75%), dan sangat bahagia (75% ke atas). Hasil indeks menunjukkan bahwa tingkat kebahagiaan rakyat Indonesia, lewat survei sebanyak 9.500 orang, ada di dalam level 65%. Artinya, rata-rata orang Indonesia bahagia.

Seperti Bagong Suyanto, saya juga tidak terlalu percaya pada angka. Dalam bayangan saya, saat survei dilakukan, sering terjadi hal-hal sepele yang akan memengaruhi data yang diperoleh. Jika survei indeks kebahagiaan dilakukan di tanggal muda sehabis gajian, wawancara dilakukan di musim panen, atau responden diwawancarai selepas menonton tim sepakbola kebanggaannya berakhir menang, sangat wajar jika mereka lebih banyak yang berbahagia. Bagaimana jika sebaliknya?

Namun, seorang kawan pernah berujar: jika ia sedang ditimpa kesulitan dan suasana hatinya sedang tidak happy, tak mungkin pula ia harus menuliskan kesulitannya pada secarik kertas, lalu menempelkannya di jidat. “Karena kesulitan tak perlu diperlihatkan,” ujarnya. Saya tergelak.

***
Izinkan saya untuk menceritakan mimpi-mimpi dari seorang pria. Ini terjadi pada 17 April 2013. Mengenakan t-shirt berwarna merah dipadu celana jins, ia berbicara di hadapan sekumpulan orang. Bercerita tentang mimpi-mimpi untuk kotanya. Mimpi panjang tentang kota kelahiran. Mimpi agar anak-anak tidak meninggalkan kota karena kotanya tak lagi layak untuk hidup. Pin bergambar hati melekat di dada pria itu. 

Berlatar belakang pendidikan visual, ia terbiasa bercerita dibarengi tampilan gambar. Menampilkan perjalanan hidupnya. Pendidikannya. Pengamatan terbesar atas permasalahan yang mendera kotanya. Mimpi-mimpi akan kenyamanan yang belum terjadi di kotanya.

Sebuah visual diperlihatkan. Memotret wajah Indonesia hari ini, mewakili wajah-wajah kota di negeri ini. Dia berujar: negara belum mampu mengurusi urusan warganya 100 persen. Masyarakat berebut lahan penghidupan dengan cara-caranya tersendiri. Mutiara-mutiara yang seharusnya muncul tersembunyikan oleh kemiskinan. Tertutupi oleh mal dan apartemen. Realita akan sebuah kota yang tersembunyi.

Memori di otaknya membuat kesimpulan. Persoalan formal terurus, informal tidak terurus. Ada solusi tapi seringkali tidak menjadi prioritas. Ciri masyarakat sakit diperlihatkan dengan angkuhnya. Pemerintahnya koruptif, pebisnisnya oppurtunis, lalu bertemu dengan kaum intelektual yang apatis. 

“Pada saat segitiga itu hadir, kita akan sakit. Kota yang stres akan menghasilan orang stres dan pemarah. Empati menghilang karena individualistik. Waktu semakin menua, namun peradaban justru menurun,” ujarnya.

Tetapi optimisme harus dibangun di atas segala permasalahan. Pria jebolan arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengatakan, paradigma baru tersebut adalah indeks kebahagiaan. Ketika upaya merestrukturisasi kota tak mampu dilakukan, minimal happiness harus dihadirkan.

Bersyukurlah untuk urusan kebahagiaan, dari 150 negara yang disurvei, ranking kebahagiaan Indonesia bertengger di urutan ke-19. Mengalahkan Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Jepang. Menggali orang Indonesia itu mudah: boleh miskin tapi jangan sedih. 

Mungkin Anda sudah memiliki jawaban tentang identitas pria berbaju merah dan bercelana jins itu? Short code pria tersebut adalah RK. Ya, dialah Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung. 

Mimpi-mimpi Ridwan Kamil dan tawaran paradigma baru indeks kebahagiaan itu saya tonton di chanel youtube. Kampanye digital yang dilakukan pada dua bulan sebelum Pilwali Bandung.

Bandung saat itu disuguhi segunung permasalahan. Ledakan penduduk, problem sampah, banjir, kemacetan, kekumuhan, dan daftar permasalahan lainnya. Ada sesuatu yang salah dengan kota yang menjadi ibukota Provinsi Jawa Barat itu. Kota itu hanya layak untuk lelaki dewasa.

Masalah-masalah tersebut hanya bisa diselesaikan dengan dua cara. Dengan ilmu dan budaya. Inspirasi justru lahir dari melihat dunia lain. Tak perlu gengsi untuk mengadopsi konsep penataan kota dari sejumlah negara. Belajar lah kepada Denmark dan India dalam mengatasi krisis energi. 

Di Denmark, krisis energi diatasi dengan membuat tenaga angin di lautan. Di India, semua taman telah menggunakan solar cell. Tak ada taman yang gelap. Di Jepang, lahan yang sempit diakali dengan membuat ruang terbuka hijau di atas mal dan gedung-gedung pencakar langit. Solusi itu selalu ada asalkan ada niat.

Jepang telah memberikan pelajaran bahwa kebaikan itu harus dipaksakan. Pembangunan tidak bisa disetop, hanya bisa dikendalikan. Wali Kota Boston, Amerika Serikat membuat kebijakan revolusioner: menghilangkan jalan tol dan menjadikannya taman terpanjang di dunia. Kota Seoul melakukan langkah serupa. Menghilangkan jalan tol yang sebelumnya menutupi sungai, dan mengembalikan sungai sesuai harkat martabatnya sebagai ruang publik. Ilmu pengetahuan telah memiliki jawaban bahwa teknologi membran bisa menjernihkan apapun yang kotor. “Hanya level pemimpin kota bisa melakukan itu,” kata Ridwan Kamil. 

Ya, Bandung dengan proyek Index of Happiness-nya, menjadi contoh inisiatif organik yang mencoba menanamkan konsep kebahagiaan yang lebih unggul. Semenjak memulai jabatannya pada September 2013, Ridwan Kamil mengajak warga untuk bekerjasama mengembalikan Bandung menjadi kota yang nyaman untuk ditinggali, menghidupkan kembali ruang-ruang publik, dan menaruh perhatian lebih terhadap alam dan lingkungan sekitar.

“Orang stres itu jika hidupnya jauh dari kehijauan. Pohon besar penting, selain menangkap air, juga mengurangi stres orang kota. Saya bermimpi melahirkan banyak ribuan pohon,” ujar Kang Ridwan.

Saya melihat ada kesamaan mimpi antara Ridwan Kamil dan Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi. Yang membedakan dua pemimpin kota tersebut adalah persoalan “warisan”. Jika Rizal Effendi telah diwarisi prestasi-prestasi dari pemimpin kota sebelumnya, maka pemimpin kota Bandung sebelum Ridwal Kamil kering akan prestasi. Keduanya memiliki kereta mimpi yang sama. Memimpikan kota yang manusiawi. 

Di pemerintahan kedua, Rizal Effendi yang berkolaborasi dengan pengusaha muda Rahmad Mas’ud memiliki empat capaian. Yang pertama ingin menjadikan kota ini kota terkemuka. Yang kedua, membuat kota ini nyaman dihuni. Yang ketiga ingin kota ini menjadi kota berkelanjutan. Dan yang terakhir, menjadikan kota ini kota Madinatul Iman.

Secara demografi, Bandung dan Balikpapan memiliki kesamaan. Sekitar 60 persen warganya di bawah 30 tahun. Kotanya anak-anak muda. Kota yang terkoneksi dengan kultur digital. Gerakan berkomunitas melakukan perubahan dan pemberdayaan telah dilakukan oleh anak-anak muda. 

Komunitas Balikpapan Berkebun, Komunitas Tangan di Atas, Borneo Donate, Indonesia Mengajar, Kelas Inspirasi, Green Lifestyle, Komunitas Peduli Lingkungan (Kopekat) dst, mereka layak mendapatkan penghargaan urbant leadership. Apa yang semestinya menjadi tugas negara, tetapi masyarakat menyelesaikan persoalannya sendiri. Itulah solusi survival masyarakat. Masyarakat yang memiliki nilai. 

Pemerintah yang solutif sepatutnya bergabung dengan warga yang peduli. Ketika melakukan apapun dengan cinta, kebaikan akan datang secara otomatis. Ayo berubah, menuju Balikpapan nyaman dihuni. (*) 

Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: