ads header

Tuesday, July 7, 2020

Kotak Kosong dan “Partai Kesebelas”

0

Ulasan Golongan Putih di Majalah Tempo edisi Juni 1971.

SAYA pernah terlibat sebagai relawan demokrasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Balikpapan. Pada pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019. Latar belakang KPU membuat program ini karena partisipasi pemilih cenderung menurun. Juga terjadinya inflasi kualitas memilih. 

Sebagai relawan demokrasi, kami melakukan gerakan sosial untuk meningkatkan partisipasi dan kualitas pemilih dalam menggunakan hak pilih. Juga mengampanyekan gerakan anti-golput. Hasilnya, tingkat partisipasi pemilih di Balikpapan mencapai 74,48 persen – mendekati target nasional 77,5 persen. 

Pada setiap kegiatan sosialisasi menyasar pemilih milenial, tidak hanya persoalan teknis kepemiluan yang kami sampaikan, gerakan golput oleh kalangan tertentu dan historinya juga kami uraikan. 

Para pakar politik dari masa ke masa sudah menjabarkan sejumlah varian golput. Namun sederhananya, golput jadi “hantu” tersendiri akibat dua faktor: teknis dan ideologis. 


Faktor teknis lantaran perkara administratif dan ideologis lantaran memang tidak mau menggunakan hak pilih atau menggunakan hak pilih tapi secara tidak sah karena alasan kecewa. 

Kami katakan bahwa sikap abstain karena kecewa entah dengan orang atau sistem, merupakan sikap yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. 

Pada 1971, proklamasi untuk menjadi “penonton yang baik” (baca: golput) didengungkan oleh kalangan muda. Adalah Arief Budiman yang disebut-sebut sebagai juru bicara golongan putih. 

Arief Budiman dalam kartun Majalah Tempo.

Arief Budiman berusia 30 tahun. Gambaran Arief Budiman pada masa itu identik dengan si tukang protes yang profesional. Dia berada di pusat Mahasiswa Menggugat dan Komite Anti Korupsi. Dia aktif dalam Wartawan Generasi Muda. Di tengah panasnya pemilu 1971, dia muncul sebagai seorang tokoh Golongan Putih. 

Harian KAMI edisi 12 Mei 1971 memuat tulisan berjudul “Partai Kesebelas untuk Generasi Muda”. Nadanya separuh serius separuh bergurau. Partai Kesebelas adalah salah satu partai politik yang ditujukan untuk menampung suara dari golongan serta orang-orang yang tidak mau memilih parpol-parpol dan Golkar. 

Partai Kesebelas ini bernama Partai Putih. Dengan tanda gambar putih tanpa apa-apa. Kepada yang hendak memilih Partai Putih pada pemilu, diharapkan menusuk bagian putih (yang kosong) di antara tanda gambar parpol. 

Reaksi sudah pasti diberikan oleh sejumlah pejabat pemerintah pada masa itu. Mayor Jenderal Ali Murtopo menyebut gerakan golput seperti kentut. Menteri Budiarjo menyebutnya sebagai gerakan orang-orang moralis dan seniman. “Lihat saja tanda gambarnya, kan abstrak,” kata menteri perwira tinggi AURI itu. 

Seperti itulah gambaran fenomena golput pada masa itu. Saya baca di Majalah Tempo edisi 19 Juni 1971. Salah satu koleksi majalah lama yang saya miliki pemberian seorang teman di Balikpapan. 


Kemenangan Kotak Kosong 

Pilkada serentak 2018 telah memberi pelajaran kepada kita. Juga menguak sejumlah fakta. Mulai dari tersangka kasus korupsi yang unggul di Pilkada Tulungagung, maraknya politik uang, hingga calon tunggal kepala daerah yang kalah dari kolom kosong di Pilkada Makassar. 

Kemenangan kotak kosong tersebut sebagai kritik keras kepada calon. Mereka seharusnya lebih mendekati masyarakat sebagai pemegang suara daripada menguasai mayoritas partai. 

Fenomena calon tunggal di Pilkada 2018 tidak hanya terjadi di Pilwakot Makassar, tetapi juga di sebelas daerah lainnya. Setidaknya terdapat 11 kabupaten/kota lain yang juga memiliki satu pasangan atau calon tunggal. 

Fenomena calon tunggal versus kotak kosong pada pilkada serentak 2918.

Mengapa pilkada serentak kerap diikuti calon tunggal? Iza Rumesten R.S. dalam artikel “Fenomena Calon Tunggal dalam Pesta Demokrasi” di Jurnal Konstitusi (Vol. 13, No. 1, Maret 2016) menulis, ada beberapa faktor yang mempengaruhi fenomena calon tunggal dalam gelaran pilkada. 

Salah satunya adalah mahalnya mahar dari partai pengusung. Sehingga, jika ada calon petahana yang kuat, maka calon lain dipastikan akan berhitung ulang untuk maju sebagai kandidat. Hal ini jelas masuk akal. Untuk maju menjadi calon saja, mereka umumnya harus membayar mahar. Belum lagi dana yang akan digunakan untuk kampanye, dana untuk meraih suara pemilih, dana untuk mengamankan suara mulai dari tingkat TPS sampai mengamankan suara di KPU, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, KPU pusat bahkan sampai di tingkat MK jika terjadi sengketa. 

Biaya mahal ini juga pernah diakui Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Prabowo Subianto dalam pidatonya, di acara halalbihalal dan silaturahmi nasional di Pondok Pesantren Al–Ishlah, Bondowoso, pada 23 Juli 2017. 

Ia menyebut paling tidak calon gubernur mengeluarkan dana Rp300 miliar. Saat itu, Prabowo mengatakan bahwa soal modal adalah aspek pertama yang selalu ia tanyakan pada siapa pun yang ingin maju lewat Gerindra. 

“Kalau ada yang mau nyalon gubernur, datang ke saya, apa pertanyaan pertama yang saya kasih ke dia? Ente punya uang enggak. Saya tidak tanya Anda lulusan mana, prestasinya apa, pernah nulis buku apa? Yang saya tanya ente punya uang berapa?” kata Prabowo. 

Selain itu, menurut Iza Rumesten, calon tunggal bisa juga disebabkan mesin partai yang seharusnya melakukan pendidikan politik bagi kader tidak berfungsi dengan baik. 

Akibatnya, partai tak punya kader mumpuni untuk diusung dalam pilkada. Tak heran jika partai politik kerap kebingungan mencari kader partai yang berkualitas dan bisa "dijual": memiliki elektabilitas. 


Pilkada Balikpapan 

Bagaimana dengan Pilkada Balikpapan 2020? Mencuat kekhawatiran fenomena calon tunggal versus kotak kosong akan terjadi. Ini setelah melihat arah koalisi parpol. Golkar yang telah resmi mengusung Rahmad Mas’ud sebagai calon Wali Kota Balikpapan mendapat sokongan partai lain. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah bulat mengusung RM – short code Rahmad Mas’ud sebagai calon wali kota. 

Di Balikpapan, Golkar menjadi satu-satunya parpol yang dapat mengusung sendiri bakal calon (balon) Wali Kota Balikpapan pada Pilkada 2020. Golkar adalah peraih kursi terbanyak pada Pemilu 17 April 2019 yakni 11 kursi. Menyusul PDIP 8 kursi, Gerindra dan PKS masing-masing 6 kursi, Demokrat 4 kursi, Nasdem 3 kursi, PPP 3 kursi, Hanura 2 kursi, PKB dan Perindo masing-masing 1 kursi. 

Sembilan parpol lainnya yakni PDIP, PKS, Gerindra, Demokrat, Nasdem, PPP, Hanura, PKB dan Perindo harus berkoalisi untuk dapat mengusung balon wali kota yang dijagokannya. Pada Pemilu serentak lalu, perolehan suara parpol-parpol itu kurang dari 9 kursi. 

Sesuai persyaratan UU, balon wali kota dapat diusung oleh parpol atau gabungan parpol yang memiliki jumlah kursi minimal 20 persen di DPRD setempat. Jika kursi di DPRD Balikpapan berjumlah 45, maka parpol atau gabungan parpol yang dapat mengusung balon wali kota harus memiliki 9 kursi. 

Kekuatan finansial serta keunggulan popularitas dan elektabilitas RM tampaknya menjadi magnet penarik parpol lain. Sinyal kuat mengusung RM juga diberikan Partai Demokrat. PDIP bahkan mengambil langkah cepat menyorong kadernya yakni Thohari Aziz untuk dipaketkan dengan RM. 

Deklarasi dan dukungan PKS kepada Rahmad Mas'ud sebagai calon wali kota Balikpapan.


Dari 10 partai peraih kursi di DPRD Balikpapan, hanya Partai Gerindra yang belum bersikap. Namun, beredar di lini massa tentang pertemuan RM dengan petinggi DPP Gerindra. RM tidak sendiri, pertemuan itu juga dihadiri kader Gerindra Balikpapan Sabaruddin Panrecalle dan Muhammad Taqwa. Jika asumsi-asumsi koalisi itu menjadi kenyataan, maka RM berlimpah dukungan parpol. (Koalisi Golkar, PKS, PDIP, Demokrat, dan Gerindra). 

Penyerahan rekomendasi pengusungan AHB sebagai calon wali kota Balikpapan dari Partai Nasdem.

Bakal calon wali kota lainnya yakni Ahmad Basir juga telah mendapat dukungan parpol. Selain diusung oleh partainya sendiri yakni Nasional Demokrat, dukungan pada tingkatan Kota Balikpapan juga diberikan parpol lain yakni PPP, Hanura, PKB, dan Perindo. Namun, pengusungan yang belum bersifat final ini masih riskan bagi AHB – short code Ahmad Basir. Gabungan 10 kursi parpol ini masih sangat rawan untuk “tercuri” atau berpindah ke lain hati. 

Agar seru dan banyak pilihan, idealnya Pilkada Balikpapan memunculkan tiga pasangan calon. PDIP dan Gerindra yang belum menentukan sikap bisa berkoalisi mengusung kader terbaiknya. Tiga pilihan calon pemimpin Kota Balikpapan ini bisa menjadi penarik tingkat partisipasi pemilih. 

KPU memang tidak memiliki aturan yang bisa mencegah munculnya calon tunggal. Tidak ada pembatasan bagi parpol untuk berkoalisi mengusung calon kepala daerah. 

“Yang ada hanyalah PKPU yang khusus mengatur calon tunggal,” kata Ketua KPU Balikpapan Noor Thoha. 

Yang menjadi soal kini; benarkah kekhawatiran calon tunggal akan menjadi kenyataan di Pilkada Balikpapan? Wallahu a’lam bishawab. Semoga tidak. (*) 

Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: