ads header

Sunday, August 5, 2018

NU dan Islam Nusantara

0


TENTANG ISLAM NUSANTARA: Rais 'Aam PBNU KH Ma'ruf Amin berbicara tentang Islam Nusantara.


Pemunculan istilah Islam Nusantara yang diklaim sebagai ciri khas Islam di Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan 'Islam Arab' telah menimbulkan pro dan kontra. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islam Nusantara?


WALAUPUN dianggap bukan istilah baru, istilah Islam Nusantara belakangan telah dikampanyekan secara gencar oleh ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Warna Islam dengan model Islam Nusantara itu kembali disosialisasikan oleh Rais ‘Aam PBNU yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin pada acara Hari Lahir NU ke-91 yang diselenggarakan Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC-NU) Balikpapan Selatan di Gedung Dome, Jumat (3/2) malam.

Ma’ruf mengatakan NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara. Ormas Islam yang didirikan KH Hasyim Ashari tersebut berusaha untuk mengamalkan, memelihara, melestarikan, serta mengembangkan dan meneguhkan ajaran Islam murni ahlussunnah wal jamaah.

“Islam Nusantara itu hanya bungkusnya saja supaya mudah dijual. Mengapa? Sebab di luar negeri yang terkenal adalah Islam Nusantara. Islam Nusantara adalah Islam yang toleran. Karena itu banyak negara belajar ke Indonesia,” ujar Ma’ruf Amin.

Menurut Ma’ruf refleksi toleransi umat Islam di Indonesia terhadap penganut agama lainnya telah membuat kagum dunia internasional. Islam Nusantara dipandang sebagai contoh baik yang bisa dijadikan model oleh negara-negara Islam lainnya. 

“Selama ini negara-negara barat telah terpropaganda bahwa Islam identik dengan radikalisme dan terorisme. Pandangan itu menjadi berubah setelah mereka datang ke Indonesia,” kata Ma’ruf.

Ketika produser film Titanic datang ke Indonesia dan bertemu dengan pengurus NU, mereka tertarik untuk memfilmkan Islam Nusantara. “Film Islam Nusantara nantinya akan diputar di Eropa dan Amerika Serikat sebagai contoh Islam yang toleran,” kata Ma’ruf.

NU dengan Islam Nusantaranya, papar Ma’ruf, berupaya mengembangkan sikap saling mencintai dan menyayangi. Harmonisasi mawadah warahmah bukan sebatas hubungan suami-istri, namun lebih luas lagi dalam konteks pergaulan umat. Ketika satu bagian tubuh dari keberagaman agama di negara ini tersakiti, maka bagian lainnya ikut merasakan sakit.

“NU mengajarkan semangat saling tolong menolong dan saling menguatkan. Bukan hanya sesama umat muslim, tapi juga sesama bangsa,” ujarnya.

Karena itu, kata Ma’ruf, NU mengembangkan prinsip tri ukhuwah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yakni ukhuwah Islamiah, ukhuwah wafaniah, dan ukhuwah insaniah. “Jika prinsip mawadah waramah dikembangkan, maka hubungan antarumat muslim, antarbangsa, dan sesama manusia akan menjadi harmonis,” urainya.

Ma’ruf mengatakan ajaran NU sebenarnya bukan hanya untuk Indonesia, tapi untuk seluruh dunia. Oleh sebab itu, Islam Nusantara akan terus disosialisasikan ke seluruh dunia agar dunia diwarnai Islam Nusantara. “Sekarang sudah terbukti,” tegasnya.

Merefleksi pendirian NU oleh KH Hasyim Ashari, menurut Ma’ruf pendirian NU dilatarbelakangi tanggung jawab terhadap permasalahan keumatan, kebangsaan, dan kenegaraan. “Sebagai generasi penerus, kita semestinya bangga memiliki ulama yang memiliki kesadaran yang luar biasa untuk memikirkan umat, bangsa dan negara,” ujarnya.

Wujud tanggung jawab keumatan oleh ulama itu dilakukan dengan menjaga dan melindungi umat dari akidah-akidah yang menyimpang. Ma’ruf tidak memungkiri bahwa penyimpangan akidah sudah cukup banyak. Pun munculnya gerakan-gerakan ektrem kiri dan kanan maupun radikalisme agama. Gejala radikalisme sekuler melalui upaya menghilangkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pun mulai tercium.

“Perlu ditegaskan bahwa di negara kita Pancasila dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,” kata Ma’ruf. 

Dikatakan, NU memiliki karakter dalam memperjuangkan ajaran ahlusunnah wal jamaah. Perjuangan agama oleh NU dilakukan melalui cara-cara yang santun, tidak galak, dan tidak kasar. NU memilih cara santun dengan cara merangkul dan tidak memukul. Mengajak dan tidak mengejek. “Santun bukan berarti lemah. Karenanya, orang santun jangan diganggu, Jika diganggu hati-hati saja,” tegas Ma’ruf.

Dalam berbangsa dan bernegara, lanjut Ma’ruf, semangat saling menjunjung kebersamaan harus dikuatkan. Sebab Islam adalah agama toleran yang memberikan pengakuan terhadap agama lain. Perbedaan dan keberagamaan tidak perlu dijadikan friksi, sebaliknya harus dijadikan kekuatan. 

“NU ini luas sekali. NU juga melakukan perbaikan umat. Memperbaiki akidahnya, pendidikannya, SDM-nya, dan ekonomi umat agar tidak meninggalkan generasi yang lemah. Perbaikan ini akan dilakukan secara terus menerus,” ujarnya.

Oleh karena itu, sebagai Rais “Aam PBNU, Ma’ruf menambahkan paradigma NU dengan melakukan perbaikan ke arah yang lebih baik. Perbaikan yang harus dilakukan secara terus menerus. 

“NU adalah gerakan ulama, karenanya jangan diam. Kalau diam, bukan NU,” tegasnya mengingatkan para pengurus NU di Kota Balikpapan. 

***
Pada forum bertema “Islam Nusantara sebagai Islam Mutamaddin Menjadi Tipe Ideal Dunia Islam” guru besar filologi Islam UIN Jakarta Oman Fathurrahman menyatakan setuju dengan istilah itu. Dia mengatakan, ada kesalahpahaman ketika sejumlah orang menolak pelabelan “Nusantara” terhadap Islam. Menurut mereka, Islam adalah Islam, tak perlu labelisasi.

“Padahal yang kita maksud bukan Islam yang normatif tapi Islam empirik yang terindegenisasi. Oleh kerena itu kita mencoba merumuskan sebuah kalimat, Islam Nusantara itu adalah Islam Nusantara yang empirik dan distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia,” imbuhnya.

Menurut Oman, Islam Nusantara ada namun minim data thabaqat (biografi) yang komprehensif para tokoh muslim Nusantara setidaknya sejak abad ke-16. Hal ini berbeda dari fakta yang ada di Arab dan Persia, yang mengakibatkan bangunan sejarah keduanya sangat kokoh lantaran kekayaan sumber literasi tentang itu.

Azhar Ibrahim dari Universiti Nasional Singapura memandang Islam yang terbangun di Indonesia bisa menjadi teladan kepada negara-negara Muslim lain, termasuk warga dunia yang lebih besar.

Ia mengatakan, sarjana dan pemerhati telah membayangkan bahwa Islam Nusantara akan menjadi daerah paling cerah dalam dunia Islam. Sebab, kehidupan mayoritas Muslim di Timur Tengah, Benua Kecil India, Afrika Utara dan Afrika Tengah, sedang terhimpit oleh konflik dan keganasan.

“Walaupun tidak menelurkan gagasan filsafat yang rasional ataupun menghasilkan kesarjanaan Islam yang tinggi, Islam Nusantara mempunyai potensi besar untuk menyumbang kepada dunia Islam, malah peradaban dunia,” tuturnya.

Menurutnya Azhar, hal tersebut berakar pada enam poin penting, yakni pengalaman sejarah, orientasi agama yang dominan, pribumisasi Islam yang mengakar, penghargaan dan keteguhan terhadap turats (tradisi), terbangunnya institusi atau kelompok yang mengedepankan wacana Islam inklusif dan dialogis, serta peran ormas dan para pemikir Indonesia yang mencerahkan. (jid)
Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: