IZINKAN saya menceritakan
mimpi-mimpi dari seorang pria. Ini terjadi pada 17 April 2013. Mengenakan t-shirt berwarna merah dipadu celana
jins, ia berbicara di hadapan sekumpulan orang. Bercerita tentang mimpi-mimpi
untuk kotanya. Mimpi panjang tentang kota kelahiran. Mimpi agar anak-anak tidak
meninggalkan kota karena kotanya tak lagi layak untuk hidup. Pin bergambar hati
melekat di dada pria itu.
Berlatar belakang
pendidikan visual, ia terbiasa bercerita dibarengi tampilan gambar. Menampilkan
perjalanan hidupnya. Pendidikannya. Pengamatan terbesar atas permasalahan yang
mendera kotanya. Mimpi-mimpi akan kenyamanan yang belum terjadi di kotanya.
Sebuah visual
diperlihatkan. Memotret wajah Indonesia hari ini--mewakili wajah-wajah kota di
negeri ini. Dia berujar: negara belum mampu mengurusi urusan warganya 100
persen. Masyarakat berebut lahan penghidupan dengan cara-caranya tersendiri.
Mutiara-mutiara yang seharusnya muncul tersembunyikan oleh kemiskinan.
Tertutupi oleh mal dan apartemen. Realita akan sebuah kota yang tersembunyi.
Memori di otaknya
membuat kesimpulan. Persoalan formal terurus, informal tidak terurus. Ada
solusi tapi seringkali tidak menjadi prioritas. Ciri masyarakat sakit
diperlihatkan. Pemerintahnya koruptif, pebisnisnya oppurtunis, lalu bertemu
dengan kaum intelektual yang apatis.
“Pada saat segitiga itu
hadir, kita akan sakit. Kota yang stres akan menghasilan orang stres dan
pemarah. Empati menghilang karena individualistik. Waktu semakin menua, namun
peradaban justru menurun,” ujarnya.
Tetapi optimisme harus
dibangun atas segala permasalahan
tersebut. Pria jebolan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) itu lantas
menawarkan paradigma baru berwujud indeks kebahagiaan. Karena sebuah alasan. Ketika
upaya merestrukturisasi kota tak mampu dilakukan, minimal happiness harus dihadirkan.
Bersyukurlah untuk
urusan kebahagiaan, ranking kebahagiaan
Indonesia bertengger di urutan ke-19 dari 150 negara yang disurvei. Mengalahkan
Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Jepang. Menggali orang Indonesia itu
mudah: boleh miskin tapi jangan sedih.
Begitu banyak sinar kebahagiaan menyirami masyarakat
kita. Masyarakat yang hidup dalam kesederhanaan. Tinggal di rumah kontrakan dan
banyak utang, tapi masih sering menyunggingkan senyuman. Tertawa terbahak-bahak
mendengarkan hal-hal yang dinilai lucu.
Sebaliknya, bukan tak
mungkin seseorang yang bergelimang harta, tapi hatinya acap resah dan sering
bersungut-sungut. Hidupnya justru tak bahagia karena selalu di bawah tekanan
dan ambisi yang tak pernah terpuaskan. Begitu berjuta makna kebahagiaan itu.
Relatif dan subjektif.
Mungkin Anda sudah
memiliki jawaban tentang identitas pria
berbaju merah dan bercelana jins itu? Short
code pria tersebut adalah RK. Ya, dialah Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung.
Mimpi-mimpi Ridwan
Kamil dan tawaran paradigma baru indeks kebahagiaan itu saya tonton di chanel youtube. Kampanye digital yang dilakukan
pada dua bulan sebelum Pilwali Bandung. Bandung saat itu
disuguhi segunung permasalahan. Ledakan penduduk, problem sampah, banjir,
kemacetan, kekumuhan, dan daftar permasalahan lainnya. Ada sesuatu yang salah
dengan kota yang menjadi ibukota Provinsi Jawa Barat itu. Kota itu hanya layak
untuk lelaki dewasa.
Masalah-masalah
tersebut hanya bisa diselesaikan dengan dua cara. Dengan ilmu dan budaya. Inspirasi
lahir justru dari melihat dunia lain.
Tak perlu gengsi untuk mengadopsi konsep penataan kota dari sejumlah negara.
Belajarlah kepada
Denmark dan India dalam mengatasi krisis energi. Di Denmark, krisis energi diatasi dengan membuat tenaga angin di
lautan. Di India, semua taman telah menggunakan solar cell. Tak ada taman yang gelap.
Di Jepang, lahan yang
sempit diakali dengan membuat ruang terbuka hijau di atas mal dan gedung-gedung
pencakar langit. Jepang telah memberikan pelajaran bahwa kebaikan itu harus
dipaksakan. Pembangunan tidak bisa disetop, hanya bisa dikendalikan.
Wali Kota Boston,
Amerika Serikat membuat kebijakan revolusioner: menghilangkan jalan tol dan
menjadikannya taman terpanjang di dunia. Kota Seoul melakukan langkah serupa.
Menghilangkan jalan tol yang sebelumnya menutupi sungai, dan mengembalikan sungai
sesuai harkat martabatnya sebagai ruang publik. Ilmu pengetahuan telah memiliki
jawaban bahwa teknologi membran bisa menjernihkan apapun yang kotor. Solusi itu
selalu ada asalkan ada niat. “Hanya level pemimpin kota bisa melakukan itu,”
kata Ridwan Kamil.
Ya, Bandung dengan
proyek Index of Happiness-nya, menjadi contoh inisiatif organik yang
mencoba menanamkan konsep kebahagiaan yang lebih unggul. Semenjak memulai
jabatannya pada September 2013, Ridwan Kamil mengajak warga untuk bekerjasama
mengembalikan Bandung menjadi kota yang nyaman untuk ditinggali, menghidupkan
kembali ruang-ruang publik, dan menaruh perhatian lebih terhadap alam dan
lingkungan sekitar.
“Orang stres itu jika
hidupnya jauh dari kehijauan. Pohon besar penting, selain menangkap air, juga
mengurangi stres orang kota. Saya bermimpi melahirkan banyak ribuan pohon,”
ujar Kang Ridwan.
Saya melihat ada
kesamaan mimpi antara Ridwan Kamil dan Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi. Yang
membedakan dua pemimpin kota tersebut adalah persoalan “warisan”. Jika Rizal
Effendi telah diwarisi prestasi-prestasi dari pemimpin kota sebelumnya, maka
pemimpin kota Bandung sebelum Ridwal Kamil kering akan prestasi. Keduanya
memiliki kereta mimpi yang sama. Memimpikan kota yang manusiawi.
Di pemerintahan kedua,
Rizal Effendi yang berkolaborasi dengan pengusaha muda Rahmad Mas’ud memiliki
empat capaian target. Yang pertama ingin
menjadikan kota ini kota terkemuka. Yang kedua, membuat kota ini nyaman dihuni.
Yang ketiga ingin kota ini menjadi kota berkelanjutan. Dan yang terakhir,
menjadikan kota ini kota Madinatul Iman.
Secara demografi,
Bandung dan Balikpapan memiliki kesamaan. Sekitar 60 persen warganya di bawah
30 tahun. Kotanya anak-anak muda. Kota yang terkoneksi dengan kultur digital.
Gerakan berkomunitas melakukan perubahan dan pemberdayaan telah dilakukan oleh
anak-anak muda. Komunitas Balikpapan Berkebun, Komunitas Tangan di Atas, Borneo Donate, Indonesia Mengajar, Kelas
Inspirasi, Green Lifestyle, Komunitas
Peduli Lingkungan (Kopekat) dst. Mereka layak mendapatkan penghargaan urbant leadership. Apa yang semestinya
menjadi tugas negara, tetapi masyarakat menyelesaikan persoalannya sendiri.
Itulah solusi survival
masyarakat. Masyarakat yang memiliki nilai. Pemerintah yang solutif sepatutnya
bergabung dengan warga yang peduli. Ketika melakukan apapun dengan cinta,
kebaikan akan datang secara otomatis. “Ayo Berubah, Menuju Balikpapan Nyaman Dihuni”
bukan sekadar slogan.
(ajid.kurniawan@kaltimpost.co.id)