ads header

Wednesday, May 18, 2016

Mimpi Pemimpin Kota

0
IZINKAN saya menceritakan mimpi-mimpi dari seorang pria. Ini terjadi pada 17 April 2013. Mengenakan t-shirt berwarna merah dipadu celana jins, ia berbicara di hadapan sekumpulan orang. Bercerita tentang mimpi-mimpi untuk kotanya. Mimpi panjang tentang kota kelahiran. Mimpi agar anak-anak tidak meninggalkan kota karena kotanya tak lagi layak untuk hidup. Pin bergambar hati melekat di dada pria itu.

Berlatar belakang pendidikan visual, ia terbiasa bercerita dibarengi tampilan gambar. Menampilkan perjalanan hidupnya. Pendidikannya. Pengamatan terbesar atas permasalahan yang mendera kotanya. Mimpi-mimpi akan kenyamanan yang belum terjadi di kotanya.

Sebuah visual diperlihatkan. Memotret wajah Indonesia hari ini--mewakili wajah-wajah kota di negeri ini. Dia berujar: negara belum mampu mengurusi urusan warganya 100 persen. Masyarakat berebut lahan penghidupan dengan cara-caranya tersendiri. Mutiara-mutiara yang seharusnya muncul tersembunyikan oleh kemiskinan. Tertutupi oleh mal dan apartemen. Realita akan sebuah kota yang tersembunyi.

Memori di otaknya membuat kesimpulan. Persoalan formal terurus, informal tidak terurus. Ada solusi tapi seringkali tidak menjadi prioritas. Ciri masyarakat sakit diperlihatkan. Pemerintahnya koruptif, pebisnisnya oppurtunis, lalu bertemu dengan kaum intelektual yang apatis.
“Pada saat segitiga itu hadir, kita akan sakit. Kota yang stres akan menghasilan orang stres dan pemarah. Empati menghilang karena individualistik. Waktu semakin menua, namun peradaban justru menurun,” ujarnya.

Tetapi optimisme harus dibangun  atas segala permasalahan tersebut. Pria jebolan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) itu lantas menawarkan paradigma baru berwujud indeks kebahagiaan. Karena sebuah alasan. Ketika upaya merestrukturisasi kota tak mampu dilakukan, minimal happiness harus dihadirkan.

Bersyukurlah untuk urusan kebahagiaan,  ranking kebahagiaan Indonesia bertengger di urutan ke-19 dari 150 negara yang disurvei. Mengalahkan Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Jepang. Menggali orang Indonesia itu mudah:  boleh miskin tapi jangan sedih.

Begitu banyak sinar kebahagiaan menyirami masyarakat kita. Masyarakat yang hidup dalam kesederhanaan. Tinggal di rumah kontrakan dan banyak utang, tapi masih sering menyunggingkan senyuman. Tertawa terbahak-bahak mendengarkan hal-hal yang dinilai lucu.
Sebaliknya, bukan tak mungkin seseorang yang bergelimang harta, tapi hatinya acap resah dan sering bersungut-sungut. Hidupnya justru tak bahagia karena selalu di bawah tekanan dan ambisi yang tak pernah terpuaskan. Begitu berjuta makna kebahagiaan itu. Relatif dan subjektif.

Mungkin Anda sudah memiliki jawaban  tentang identitas pria berbaju merah dan bercelana jins itu? Short code pria tersebut adalah RK. Ya, dialah Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung.

Mimpi-mimpi Ridwan Kamil dan tawaran paradigma baru indeks kebahagiaan itu saya tonton di chanel youtube. Kampanye digital yang dilakukan pada dua bulan sebelum Pilwali Bandung. Bandung saat itu disuguhi segunung permasalahan. Ledakan penduduk, problem sampah, banjir, kemacetan, kekumuhan, dan daftar permasalahan lainnya. Ada sesuatu yang salah dengan kota yang menjadi ibukota Provinsi Jawa Barat itu. Kota itu hanya layak untuk lelaki dewasa.

Masalah-masalah tersebut hanya bisa diselesaikan dengan dua cara. Dengan ilmu dan budaya. Inspirasi  lahir justru dari melihat dunia lain. Tak perlu gengsi untuk mengadopsi konsep penataan kota dari sejumlah negara.

Belajarlah kepada Denmark dan India dalam mengatasi krisis energi.  Di Denmark, krisis energi  diatasi dengan membuat tenaga angin di lautan. Di India, semua taman telah menggunakan solar cell. Tak ada taman yang gelap.

Di Jepang, lahan yang sempit diakali dengan membuat ruang terbuka hijau di atas mal dan gedung-gedung pencakar langit. Jepang telah memberikan pelajaran bahwa kebaikan itu harus dipaksakan. Pembangunan tidak bisa disetop, hanya bisa dikendalikan.

Wali Kota Boston, Amerika Serikat membuat kebijakan revolusioner: menghilangkan jalan tol dan menjadikannya taman terpanjang di dunia. Kota Seoul melakukan langkah serupa. Menghilangkan jalan tol yang sebelumnya menutupi sungai, dan mengembalikan sungai sesuai harkat martabatnya sebagai ruang publik. Ilmu pengetahuan telah memiliki jawaban bahwa teknologi membran bisa menjernihkan apapun yang kotor. Solusi itu selalu ada asalkan ada niat. “Hanya level pemimpin kota bisa melakukan itu,” kata Ridwan Kamil.

Ya, Bandung dengan proyek Index of Happiness-nya, menjadi contoh inisiatif organik yang mencoba menanamkan konsep kebahagiaan yang lebih unggul. Semenjak memulai jabatannya pada September 2013, Ridwan Kamil mengajak warga untuk bekerjasama mengembalikan Bandung menjadi kota yang nyaman untuk ditinggali, menghidupkan kembali ruang-ruang publik, dan menaruh perhatian lebih terhadap alam dan lingkungan sekitar.

“Orang stres itu jika hidupnya jauh dari kehijauan. Pohon besar penting, selain menangkap air, juga mengurangi stres orang kota. Saya bermimpi melahirkan banyak ribuan pohon,” ujar Kang Ridwan.
Saya melihat ada kesamaan mimpi antara Ridwan Kamil dan Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi. Yang membedakan dua pemimpin kota tersebut adalah persoalan “warisan”. Jika Rizal Effendi telah diwarisi prestasi-prestasi dari pemimpin kota sebelumnya, maka pemimpin kota Bandung sebelum Ridwal Kamil kering akan prestasi. Keduanya memiliki kereta mimpi yang sama. Memimpikan kota yang manusiawi.

Di pemerintahan kedua, Rizal Effendi yang berkolaborasi dengan pengusaha muda Rahmad Mas’ud memiliki empat capaian target.  Yang pertama ingin menjadikan kota ini kota terkemuka. Yang kedua, membuat kota ini nyaman dihuni. Yang ketiga ingin kota ini menjadi kota berkelanjutan. Dan yang terakhir, menjadikan kota ini kota Madinatul Iman.

Secara demografi, Bandung dan Balikpapan memiliki kesamaan. Sekitar 60 persen warganya di bawah 30 tahun. Kotanya anak-anak muda. Kota yang terkoneksi dengan kultur digital. Gerakan berkomunitas melakukan perubahan dan pemberdayaan telah dilakukan oleh anak-anak muda. Komunitas Balikpapan Berkebun, Komunitas Tangan di Atas, Borneo Donate, Indonesia Mengajar, Kelas Inspirasi, Green Lifestyle, Komunitas Peduli Lingkungan (Kopekat) dst. Mereka layak mendapatkan penghargaan urbant leadership. Apa yang semestinya menjadi tugas negara, tetapi masyarakat menyelesaikan persoalannya sendiri.

Itulah solusi survival masyarakat. Masyarakat yang memiliki nilai. Pemerintah yang solutif sepatutnya bergabung dengan warga yang peduli. Ketika melakukan apapun dengan cinta, kebaikan akan datang secara otomatis. “Ayo Berubah, Menuju Balikpapan Nyaman Dihuni” bukan sekadar slogan.
 (ajid.kurniawan@kaltimpost.co.id)



Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: