ads header

Wednesday, August 6, 2025

Perjalanan tanpa Balik

0

 


PADA awalnya, saya menganggapnya sebagai kabar biasa. Sebuah pertemuan yang akan segera terjadi, seperti sebuah janji yang terpendam, menunggu waktunya untuk meletus. Mungkin esok, mungkin nanti.

Sebuah tiket penerbangan dari Jakarta menuju Samarinda dikirimkan melalui aplikasi percakapan, dan saya membalasnya tanpa ragu. “Siap,” kata saya. “Beritahu saya jika sudah selesai aktivitas di Samarinda. Jika ada waktu, mampir lah ke Balikpapan. Kita bisa berbincang tentang banyak hal—tentang dunia kampus, riset, atau apapun yang sedang menjadi gejolak di negeri ini. Kita memiliki aliran yang sama: sang provokator hal-hal baik.”

Namun, hari yang cerah itu, yang seharusnya berjalan seperti hari-hari biasa, mendadak berubah menjadi gelap. Seperti awan hitam yang tiba-tiba menggelayuti langit biru. Saya menerima pesan yang tidak pernah saya duga. “Pak Prof,” kata pesan itu, “saya ditahan!”

Mata saya terbelalak sejenak. Sebuah ketegangan merambat di tubuh saya, menjalar seperti racun yang tak dapat dihentikan. Saya merasa lemas, lunglai. Jari-jari saya terasa kaku, enggan bergerak untuk membalas pesan itu. Sepuluh menit berlalu, baru saya bisa menekan tombol balas. “Innalillahi,” saya mengetik dengan tangan yang bergetar.

Pak Prof pun tidak menduga akan mendapatkan fase ketidaknyamanan ini di usia senjanya. Saya tahu, meskipun ia selalu tampak tegar, ada banyak pergulatan yang ia sembunyikan dalam hati. Saya pun tak muda lagi. Beberapa orang mengatakan bahwa usia hanyalah angka, tetapi angka itu sudah melewati setengah abad. Setengah abad yang membawa begitu banyak cerita, begitu banyak pelajaran.

Pak Prof lah yang mendorong saya untuk kembali sekolah. “Belajar itu khitah manusia, sebelum berkalam tanah,” kata beliau. Selalu, Pak Prof mengajarkan bahwa pencarian ilmu tidak mengenal batas. Ia adalah perjalanan yang tak berujung, meskipun tubuh kita mungkin sudah letih dan rapuh.

Bagi saya, keilmuan energi terbarukan adalah ilmu yang tak hanya relevan untuk masa kini, tetapi juga untuk masa depan. Bumi ini, dengan segala keberagamannya, telah tercemar dengan energi kotor yang membuatnya semakin rapuh.

Sementara itu, energi bersih—yang terserak di sekitar kita—belum sepenuhnya dioptimalkan. Sebagai seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan kehutanan, saya merasa bahwa ilmu ini sangat pas untuk kita yang hidup di negeri yang kaya akan biomassa, bahan baku yang melimpah untuk energi terbarukan. Terkadang, saya merasa seperti seorang pelancong yang mendaki sebuah gunung besar, mencari cahaya di tengah kegelapan. Di Indonesia, ada banyak potensi yang belum digali. Dan saya berusaha untuk menjadi bagian dari upaya itu.

Pak Prof, yang lahir di Pare-pare, Sulawesi Selatan—tanah kelahiran BJ Habibie—memiliki darah Bugis yang mengalir dalam dirinya. Namun, masa kecilnya ia habiskan di Samarinda, Kalimantan Timur. Di sana, ia dikenal sebagai seorang peneliti. Teman-temannya bercerita tentang beliau yang sangat idealis, tidak mudah goyah meskipun banyak tantangan yang harus ia hadapi. Pak Prof adalah sosok yang teguh memegang prinsip.

Saya tahu, meskipun banyak tantangan yang datang menghampiri, beliau selalu berusaha menjaga integritas. Keadaan yang ia alami saat ini, yang membuatnya terjerat dalam situasi yang tidak menguntungkan, mungkin adalah sebuah jalan yang penuh liku, tetapi bagi beliau, itu bukanlah hal yang akan mematahkan semangatnya.

Saya berjanji akan menemuinya. Dan akhirnya, hari itu pun tiba—hari perjumpaan yang terbalut dalam nuansa kebatinan yang berat. Setelah menunggu sepuluh menit di ruang tunggu, Pak Prof datang.

Saya tak bisa menyembunyikan perasaan sedih yang merayap begitu dalam. Begitu pula Pak Prof. Kami berpelukan erat, dan tidak ada kata yang bisa menghalangi air mata kami yang mengalir. Pak Prof, yang seharusnya selalu tampak segar dan penuh semangat, kini tampak tidak seperti biasanya. Wajahnya lebih tua dari biasanya, dan keringat dingin menyelimuti tubuhnya. Di tangannya, sebuah kantong plastik berisi obat-obatan. “Darah tinggi saya naik,” kata beliau dengan nada lemah.

Pak Prof lantas mulai bercerita. Ia bercerita tentang apa yang membuatnya berada di tempat ini, dan saya mendengarkan dengan seksama. Saya tidak ingin menginterupsi. Kami sudah terlalu lama saling mengenal.

Ada banyak kenangan yang tertinggal, dan saat-saat seperti ini terasa begitu berat untuk dijalani. Namun, kami tahu bahwa hidup adalah tentang terus berjalan, meskipun kadang harus berjalan di jalan yang terjal.

Pak Prof, dengan sikapnya yang penuh keyakinan, tak pernah mencoba untuk memutarbalikkan fakta. Ia percaya sepenuhnya bahwa apa yang ia lakukan adalah benar. Tidak ada yang salah. Semua yang telah dilakukannya adalah bagian dari perjalanan panjang yang tak terelakkan.

Di tengah-tengah kesedihan itu, selembar kertas bertuliskan tangan menjadi penyemangat hidupnya. Itu adalah pesan, doa, dan harapan dari anak-anaknya yang terukir dengan penuh cinta. Kertas itu menjadi penopang semangat, seperti secercah cahaya di ujung terowongan yang gelap. Saya melihatnya sejenak, dan meskipun kata-kata itu sederhana, mereka mampu memberi kekuatan yang luar biasa. Itulah yang membuat Pak Prof tetap tegar, meskipun dunia di sekitarnya seperti terbelah.

Sekali lagi, Pak Prof mengingatkan saya tentang pentingnya proses belajar dalam hidup. Bahwa pada akhirnya, belajar bukan hanya tentang mencapai tujuan, melainkan juga tentang menjalani setiap langkah dengan penuh kesadaran. Seperti sebuah perjalanan yang tak akan pernah berhenti, meskipun tubuh ini mulai lelah. Seperti angin yang tak pernah berhenti berhembus, meskipun tak terlihat. Begitulah hidup, selalu ada proses, selalu ada pembelajaran, meskipun kadang kita harus melewatinya dengan berat hati. (*)



Balikpapan, 7 Agustus 2025
Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: