![]() |
PRIMADONA HLSW: Paok Delima (Pitta garanatina), burung eksotis yang
menjadi primadona fotografer. FOTO: EKO CAHYONO/BALIKPAPAN FRIENDS OF WILD
NATURE |
Tubuh kecilnya tertutup bulu
berwarna-warni. Burung berstatus terancam punah ini sedang naik daun di
kalangan bird watching. Paok Delima
namanya. Penghuni belantara Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW).
BAYU Sukamto mengempaskan ransel
besarnya ke sudut balai. Dengan napas terengah, pengusaha asal Jakarta itu
lantas duduk sambil menyelonjorkan kaki. Dia tampak kelelahan. Bayu tidak
sendiri. Dari Jakarta, dia datang ke HLSW bersama seorang temannya.
Minggu (25/08) sore pekan lalu, dia tiba
di Pos Ulin HLSW. Ditemani pegiat fotografi yang berhimpun dalam Balikpapan Friends of Wild Nature (BFoWN), selama dua hari Bayu menjelajah
belantara HLSW. Berbekal kamera, mereka mengeksplorasi satwa liar. Bayu tampak
puas. Perjalanan melelahkan menerobos HLSW akhirnya membuahkan hasil.
“Rejekinya memang harus didapat di Camp
Djamaludin,” ucap Bayu memperlihatkan Paok Delima (Pitta garanatina) -- jenis burung bertubuh kecil hasil jepretan
kameranya, kepada saya.
Burung berstatus terancam punah itu
sangat favorit di kalangan pecinta fotografi alam liar. Tubuh kecilnya tertutup
bulu berwarna-warni. Mahkota kepalanya berwarna merah atau hitam. Bagian perut
berwarna merah, dan sayap berbercak biru terang. Kebiasaan burung ini
berlompatan di lantai hutan yang gelap, basah, dan sering berawa. Siulan suara
burung ini panjang, menoton, dan bergetar.
“Kadang-kadang dijumpai di batang pohon
yang roboh dan onggokan semak belukar,” jelas Agusdin, Vice Manager Pro Natura--pengelola
HLSW.
Awalnya Agusdin sekadar memandu para
fotografer alam liar. Interaksi dengan para fotografer membuat dirinya
“teracuni”. Sejak dipercaya sebagai pengelola HLSW pada 2016, Pro Natura
membuka akses kepada fotografer untuk mendokumentasikan satwa liar. Memang ada
sisi dilematis. Publikasi dokumentasi satwa liar bisa menggundang perburuan.
“Setelah Paok Delima terposting di media
sosial, sekarang sudah ada yang menjual. Padahal suara burung ini sebenarnya
membosankan,” kata Sugeng Kuswardono, fotografer senior yang berhimpun dalam BFoWN.
Rocky Paolorossi, fotografer yang juga anggota BFoWN mengamini apa yang
dikatakan Sugeng.
Mengapa burung jenis pitta menjadi kejaran fotografer? Ragam dan keindahan bulu burung
jenis pitta menjadi alasan. Ada
semacam persaingan antarfotografer untuk mendapatkan objek foto. Mereka saling berlomba
memiliki koleksi foto beragam burung jenis pitta.
“Sebenarnya sekadar menambah daftar
koleksi saja. Fotografer burung kalau belum memiliki koleksi yang lengkap
merasa terhina,” kata Sugeng sambil melirik Agusdin dan Rocky. Kami tertawa lepas.
Bagi fotografer alam liar terkhusus bird watching, mengunggah foto di
jejaring media sosial hanya sebagai
pemantik semangat. Sekaligus memanasi fotografer lain yang belum memiliki. “Hati
ini rasanya panas begitu tahu fotografer lain punya koleksi baru,” sambung
Sugeng tergelak.
Namun begitu, BFoWN telah bersepakat untuk
tidak mempublikasikan satu jenis burung langka yang ada di HLSW. “Burung ini
sangat eksotis. Bulunya indah sekali. Jika
dipublikasikan, dikhawatirkan akan mengundang perburuan,” timpal Agusdin.
Fotografer alam liar yang memiliki
koleksi pitta sangat lengkap adalah
Wifar. Bahkan koleksi pitta fotografer
asal Malaysia itu berasal dari berbagai negara. Koleksi pitta-nya sudah level dunia.
Agusdin memiliki cerita menarik saat
memandu Wifar di HLSW. Pemilik perusahaan kelapa sawit di beberapa negara itu
“mengakrabi” HLSW selama seminggu. Begitu tiba di HLSW pada sore hari, dia
langsung masuk ke hutan. Saat itu Agusdin tidak ikut memandu. Setelah keluar
dari hutan menjelang magrib, Wifar menemui Agusdin seraya mengumpat. “Dia
bilang kepada saya kalau hutannya jelek. Dia tidak melihat pitta,” cerita Agusdin.
Hari kedua setelah kembali masuk hutan,
Wifar berbalik memuji HLSW sangat bagus. Kepada Agusdin, dia bercerita sudah
mendengar apa yang dicarinya. Pada hari ketiga, sejak pukul 05.00 Wita Wifar
sudah masuk hutan. Tidak lama. Hanya
sekira lima jam. Pukul 10.00 Wita, dia sudah keluar hutan. Menemui Agusdin sembari
tertawa, Wifar langsung membuka tas dan memperlihatkan hasil jepretan
kameranya.
“Siapa yang bisa melawan saya,” kata
Wifar kepada Agusdin sambil memperlihatkan Paok Delima pada kameranya. Bukan
hanya Paok Delima yang didapat Wifar, burung eksotis yang telah disepakati
untuk tidak dipublikasikan juga ada pada kamera Wifar.
“Burung eksotis yang diproteksi itu
tiba-tiba di-publish Wifar di medsos Borneo
Bird Club. Wifar di-bully dan diminta menghapusnya,” ujar Agusdin.
Agusdin dan Sugeng menjelaskan, BFoWN
memiliki misi memperkenalkan keanekaragaman hayati serta keindahan yang masih
tersisa. Tujuan komunitas ini adalah untuk membantu mengampanyekan pelestarian
lingkungan melalui foto-foto keanegaraman hayati. (*)
BAYU Sukamto mengempaskan ransel
besarnya ke sudut balai. Dengan napas terengah, pengusaha asal Jakarta itu
lantas duduk sambil menyelonjorkan kaki. Dia tampak kelelahan. Bayu tidak
sendiri. Dari Jakarta, dia datang ke HLSW bersama seorang temannya.
Minggu (25/08) sore pekan lalu, dia tiba
di Pos Ulin HLSW. Ditemani pegiat fotografi yang berhimpun dalam Balikpapan Friends of Wild Nature (BFoWN), selama dua hari Bayu menjelajah
belantara HLSW. Berbekal kamera, mereka mengeksplorasi satwa liar. Bayu tampak
puas. Perjalanan melelahkan menerobos HLSW akhirnya membuahkan hasil.
“Rejekinya memang harus didapat di Camp
Djamaludin,” ucap Bayu memperlihatkan Paok Delima (Pitta garanatina) -- jenis burung bertubuh kecil hasil jepretan
kameranya, kepada saya.
Burung berstatus terancam punah itu
sangat favorit di kalangan pecinta fotografi alam liar. Tubuh kecilnya tertutup
bulu berwarna-warni. Mahkota kepalanya berwarna merah atau hitam. Bagian perut
berwarna merah, dan sayap berbercak biru terang. Kebiasaan burung ini
berlompatan di lantai hutan yang gelap, basah, dan sering berawa. Siulan suara
burung ini panjang, menoton, dan bergetar.
“Kadang-kadang dijumpai di batang pohon
yang roboh dan onggokan semak belukar,” jelas Agusdin, Vice Manager Pro Natura--pengelola
HLSW.
Awalnya Agusdin sekadar memandu para
fotografer alam liar. Interaksi dengan para fotografer membuat dirinya
“teracuni”. Sejak dipercaya sebagai pengelola HLSW pada 2016, Pro Natura
membuka akses kepada fotografer untuk mendokumentasikan satwa liar. Memang ada
sisi dilematis. Publikasi dokumentasi satwa liar bisa menggundang perburuan.
“Setelah Paok Delima terposting di media
sosial, sekarang sudah ada yang menjual. Padahal suara burung ini sebenarnya
membosankan,” kata Sugeng Kuswardono, fotografer senior yang berhimpun dalam BFoWN.
Rocky Paolorossi, fotografer yang juga anggota BFoWN mengamini apa yang
dikatakan Sugeng.
Mengapa burung jenis pitta menjadi kejaran fotografer? Ragam dan keindahan bulu burung
jenis pitta menjadi alasan. Ada
semacam persaingan antarfotografer untuk mendapatkan objek foto. Mereka saling berlomba
memiliki koleksi foto beragam burung jenis pitta.
“Sebenarnya sekadar menambah daftar
koleksi saja. Fotografer burung kalau belum memiliki koleksi yang lengkap
merasa terhina,” kata Sugeng sambil melirik Agusdin dan Rocky. Kami tertawa lepas.
Bagi fotografer alam liar terkhusus bird watching, mengunggah foto di
jejaring media sosial hanya sebagai
pemantik semangat. Sekaligus memanasi fotografer lain yang belum memiliki. “Hati
ini rasanya panas begitu tahu fotografer lain punya koleksi baru,” sambung
Sugeng tergelak.
Namun begitu, BFoWN telah bersepakat untuk
tidak mempublikasikan satu jenis burung langka yang ada di HLSW. “Burung ini
sangat eksotis. Bulunya indah sekali. Jika
dipublikasikan, dikhawatirkan akan mengundang perburuan,” timpal Agusdin.
Fotografer alam liar yang memiliki
koleksi pitta sangat lengkap adalah
Wifar. Bahkan koleksi pitta fotografer
asal Malaysia itu berasal dari berbagai negara. Koleksi pitta-nya sudah level dunia.
Agusdin memiliki cerita menarik saat
memandu Wifar di HLSW. Pemilik perusahaan kelapa sawit di beberapa negara itu
“mengakrabi” HLSW selama seminggu. Begitu tiba di HLSW pada sore hari, dia
langsung masuk ke hutan. Saat itu Agusdin tidak ikut memandu. Setelah keluar
dari hutan menjelang magrib, Wifar menemui Agusdin seraya mengumpat. “Dia
bilang kepada saya kalau hutannya jelek. Dia tidak melihat pitta,” cerita Agusdin.
Hari kedua setelah kembali masuk hutan,
Wifar berbalik memuji HLSW sangat bagus. Kepada Agusdin, dia bercerita sudah
mendengar apa yang dicarinya. Pada hari ketiga, sejak pukul 05.00 Wita Wifar
sudah masuk hutan. Tidak lama. Hanya
sekira lima jam. Pukul 10.00 Wita, dia sudah keluar hutan. Menemui Agusdin sembari
tertawa, Wifar langsung membuka tas dan memperlihatkan hasil jepretan
kameranya.
“Siapa yang bisa melawan saya,” kata
Wifar kepada Agusdin sambil memperlihatkan Paok Delima pada kameranya. Bukan
hanya Paok Delima yang didapat Wifar, burung eksotis yang telah disepakati
untuk tidak dipublikasikan juga ada pada kamera Wifar.
“Burung eksotis yang diproteksi itu
tiba-tiba di-publish Wifar di medsos Borneo
Bird Club. Wifar di-bully dan diminta menghapusnya,” ujar Agusdin.
Agusdin dan Sugeng menjelaskan, BFoWN
memiliki misi memperkenalkan keanekaragaman hayati serta keindahan yang masih
tersisa. Tujuan komunitas ini adalah untuk membantu mengampanyekan pelestarian
lingkungan melalui foto-foto keanegaraman hayati. (*)